BREAKING NEWS
Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Sekolah, Paulo Freire, dan Pendidikan Alternatif

Sekolah, Paulo Freire, dan Pendidikan Alternatif
CAHAYASIRA, Surabaya - Sudah lama dunia pendidikan formal (sekolah) kita dikritik sebagai tempat yang kurang nyaman bagi siswa didik dalam mengeksplorasi dan menumbuhkembangkan jatidiri. Sekolah tak ubahnya kerangkeng penjara yang menindas para murid. Mereka harus menjadi sosok yang serba penurut, patuh, dan taat pada komando. Imbasnya, mereka menjadi sosok mekanis yang kehilangan sikap kreatif dan mandiri. Mereka belum terbebas sepenuhnya dari suasana keterpasungan dan penindasan.

Yang lebih mencemaskan, dunia persekolahan kita dinilai hanya menjadi milik anak-anak orang kaya. Usai menuntut ilmu, mereka menjadi penindas-penindas baru sebagai efek domino dari proses dan sistem yang selama ini mereka dapatkan di sekolah. Sungguh sangat beralasan jika banyak pengamat pendidikan yang menilai bahwa dunia persekolahan kita selama ini hanya melahirkan kaum penindas. Sementara itu, anak-anak dari kalangan masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki akses terhadap dunia pendidikan hanya akan menjadi kacung dan kaum tertindas.

Situasi keterpasungan dan ketertindasan yang berlangsung dalam dunia pendidikan kita, disadari atau tidak, telah menimbulkan resistensi dari para penggiat sosial. Mereka banyak merintis berdirinya pendidikan alternatif yang berupaya membebaskan peserta didik dari situasi keterpasungan dan penindasan. Kalau dalam dunia persekolahan kita identik dengan penyeragaman dan indoktrinasi, pendidikan alternatif mencoba memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan pelajaran yang disukai atau memilih jenis aktivitas yang sesuai dengan minat dan hobi mereka masing-masing, bebas upacara, bahkan bebas ujian. Tempat belajar pun tak selalu berada di sebuah gedung yang mentereng atau laboratorium ber-AC, tetapi bisa berlangsung di bawah jembatan, tepian rel kereta api, atau di gubug-gubug kardus.

Bisa jadi, maraknya pendidikan alternatif semacam itu terilhami oleh ide-ide cemerlang dari Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brasil. Ia dikenal sebagai seorang tokoh yang sangat kontroversial lantaran keberaniannya menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Sistem pendidikan yang ada dianggap sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin, tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena hanya menguntungkan penguasa, menurut Freire, pendidikan yang hanya melahirkan kaum penindas semacam itu harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru.

Sekilas tentang Paulo Freire
Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar Hukum, Filsafat, dan Psikologi.

Sambil kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di sekolahmenengah. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959, lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran siswa didik menimbulkan kekhawatiran di kalangan penguasa. Oleh karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964, kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970.

Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan alternatif lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi terhadap filsafat pendidikan yang berporos pada pemahaman tentang manusia. Masyarakat feodal (hirarkis) merupakan struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, sehingga menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.

Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya, putaran waktu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan, sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari sepenuhnya. Dalam kebudayaan bisu semacam itu, kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka.

Untuk menguasai realitas hidup, termasuk menyadari kebisuan itu, bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang membuat siswa didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk membuat mereka mampu mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar, termasuk suara sang pendidik.

Dalam kondisi semacam itu, Freire terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Disebut pendidikan gaya bank, sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada siswa didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan, yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Siswa didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya siswa didik itu sendiri yang “disimpan” karena miskinnya daya cipta. Pendidikan gaya bank dinilai hanya menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.

Untuk menghapuskan pendidikan gaya bank, Freire menawarkan pendidikan alternatif melalui sistem pendidikan hadap-masalah. Dalam proses pendidikan semacam ini, kontradiksi guru-murid (guru menjadi sumber segala pengetahuan, sedangkan murid menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Siswa didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai objek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya, guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan siswa didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, siswa didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi dalam proses pendidikan pun tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket, tetapi sejumlah permasalahan yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh siswa didik dalam konteksnya sehari-hari.

Quovadis Dunia Pendidikan Kita?
Lantas, adakah relevansi antara pendidikan alternatif ala Freire dan dunia pendidikan(formal) kita? Dari setting sosial dan kultural, struktur masyarakat kita memang berbeda dengan kondisi masyarakat Brasil. Namun, berdasarkan struktur hierarkis masyarakat kita yang cenderung bergaya feodal, agaknya pendidikan alternatif ala Freire bisa dijadikan sebagai bahan analogi dan refleksi terhadap dunia pendidikan kita yang dinilai belum mampu membebaskan siswa didik dari keterpasungan dan ketertindasan.

Konon, pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada. Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan kurang lebih 80% kekayaan Indonesia, padahal jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris “tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme baru, baik dalam rangka balas dendam maupun dalam “penindasan” terhadap sesama kaum “tertindas”. Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari ketertindasannya.

Kritikan Freire agaknya masih cukup relevan jika kita kaitkan dengan fenomena korupsi yang dinilai sudah menjadi budaya yang mengakar dalam masyarakat kita. Korupsi dengan berbagai bentuknya merupakan manifestasi dari imbas proses pendidikan kita yang dianggap belum sanggup membebaskan dan mencerahkan siswa didik dari perilaku yang kerdil dan cacat moral. Mereka ingin menjadi neo-borjuis, neo-feodal, atau penindas-penindas baru secara instan melalui praktik korupsi sebagai upaya untuk mengembalikan modal sebagai dampak mahalnya biaya pendidikan. Quovadis dunia pendidikan (formal) kita kalau hanya melahirkan borjuis dan penindas-penindas baru?

Jangan salahkan pendidikan alternatif kalau dunia pendidikan (formal) kita gagal menyediakan tempat yang nyaman bagi masyarakat miskin untuk menimba ilmu. Jangan ratapi pula maraknya koruptor yang masih terus bebas melenggang mengemplang harta negara kalau tak ada perubahan mendasar dalam desain dan sistem pendidikan kita. Juga, jangan tangisi puluhan sarjana gadungan yang harus menggadaikan harkat dan martabat kemanusiaannya dengan membeli ijazah palsu kalau struktur masyarakat kita masih memberhalakan feodalisme dan borjuisme!

sumber KLIK DISINI

Pendidikan Alternatif dan Kelas Tanpa Batas

Pendidikan Alternatif dan Kelas Tanpa Batas

CAHAYASIRA, MAKASAR - Kami merasa tertarik untuk menyajikan pengalaman kawan-kawan dari manapun untuk menshare pengalaman dan pandangannya terhadap sekolah. Untuk pertama kami memilih salah satu tulisan dari weblog yang kami anggap sangat kaya dengan pengalaman dan tentu saja kritis. Inilah dia tulisan itu adanya.

Kenapa Pendidikan Alternative harus ada?
Pertanyaan itu mungkin harus kita jawab bersama. Dan saya akan memulai sedikit menguarai pertanyaan di atas. Tidak bisa kita pungkiri bahwa hari esok tergantung dari seberapa bagus kualitas generasi yang akan mengisi kehidupan dimasa mendatang.


Anak anaklah yang akan tumbuh beberapa puluh tahun kedepan dan akan mengisi kehidupan. Anak anak akan terus lahir dan bertumbuh tiap harinya. Di masa depan yang masih dalam tebakan kita. Tapi tak berarti tak bisa kita predikisikan masalah masalah yang mungkin akan terjadi. Hari ini adalah gambaran di masa mendatang.

Kemiskinan di Negara ini tentulah bisa menjadi gambaran untuk memprediksikan masa depan anak anak. Pada tahun 2011 saja BPS mencatat 29, 89 juta jiwa yang berada di bawah garis kemiskinan itupun standar garis kemiskinan di Indonesia yang di tetapkan FOA sangat miris. Pendapatan 7000 ribu rupia perhari sudah dianggap tidak miskin. Dan standar BPS sendiri 7,791 rupia perhari.

Sangat mengelikan. Coba kita bayangkan dengan 7 ribu rupiah apa bisa memenuhi kebutuhan kita sehari. Untuk memenuhi makan yang rutin 3 kali dalam sehari saja ini tidak mengcukupi. Apalagi untuk kebutuhan yang lain seperti kesehatan dan pendidikan.

Belum lagi sector pendidikan dan kesehatan telah diprivatisasi oleh Negara ini. Sehingga aksesnya tidak mudah untuk rakyat miskin.

Kondisi ini di perparah karna sumberdaya alam yang seharusnya jadi sumber penghidupan rakyat juga telah diprivatisasi oleh Negara sehingga monopoli sumberdaya alam terjadi dimana mana. Kemiskinan di Indonesia bukan karna kurangnya sumberdaya tapi melainkan karna tidak berpihaknya pemerintah pada rakyat miskin dalam mengeola sumberdaya .

Seperti yang telah dikemukan oleh peraih nobel ekonomi dari india Amarta sen dalam tulisannya“ kelaparan dan kemiskinan di negara berkembang terjadi bukan karena tidak tersedianya bahan makanan, tetapi karena masyarakat tidak memiliki kebebebasan dalam memperoleh akses itu”. 

Kurangnya akses inilah yang menyebabkan kemiskinan dan hilangnya hak hak social, politik, dan ekonomi rakyat miskin.

Jika melihat kemiskinan dalam konteks anak anak dan pendidikan maka kitapun harus tetap melihat fakta fakta yang telah di catat dalam angka angka sebagai landasan paling dasar untuk kita melihat kondisi anak anak.

Hari ini saja sudah tercatat 3,7 juta jiwa anak anak miskin. Mereka jadi pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tak hanya jumlah pekerja anak yang sangat menakjubkan jumlah anak anak yang putus sekolah tak kalah menakjubkannya data komnas perlindungan anak di 33 propinsi pada tahun 2007 mencatat 11,7 juta jiwa anak yang mengalami putus sekolah.

Kemiskinan membuat mereka tak mampu mengakses sekolah selain karna biaya pendidikan yang tak mampu mereka penuhi.

Pembangunan yang berorientasi pada pada sector materil dan berpusat dikota mendorong derasnya migrasi kekota kota. Membuat makin banyak miskin kota.

Komunitas pemulung adalah orang orang desa yang meniggalkan kampungnya berpindah kekota dan menetap ataupun hanya datang pada musim musim tertentu. Salah satu komunitas pemulung yang berdiam di jalan poltek UNHAS mereka datang dari kecamatan tompobulu gowa desa malakaji.

Sudah lebih dari 30 tahun mereka mulai ada jalan poltek unhas. Sejak awal kedatangan mereka sudah bekerja sebagai pemulung hingga kini. Lokasi tersebut telah banyak menampung orang orang dari malakaji. Mereka memiliki ikatan kekerabatan satu sama lainnya.

Namun tidak semua dari mereka hidup menetap kadang kadang ada yang datang di waktu waktu tertentu. Atau seringakali ada yang berpindah di pemukiman pemulung lainnya karna konflik antar sesama pemulung ataupun dengan pedagan pengumpul.

Ada beberapa kepala keluarga telah menetap bahkan sudah menjadi pemulung dan bermukim ditempat tersebut lebih dari 30 tahun lamanya. 

Daeng Nali adalah pemulung terlama yang disana, jauh sebelum bangunan kampus UNHAS berdiri dia telah bermukim disana. Ia pun belum memulung di dalam kampus hanya mencari samapah plastic di sekitar perumahan terdekat dari pemukimannya.

Sampah sampah plastic saat itu belum ada gelas gelas dan botol botol plastic. Yang bisa di dapatkan saat mencari hanya peralatan rumah tangga yang sudah rusak, seperti baskom plastik, ember plastik, dan peralatan rumah tangga yang berbahan plastik atau benda benda lainnya yang berbahan besi.

Mereka membawa serta anak anak mereka hidup di kota. Setiap harinya Anak anak bekerja seperti orangtua mereka . Dari pagi hari hingga sore mereka mencari gelas plastic dan botol botol di sekitar kampus.

Jika karung karung yang Anak anak bawa keluar mencari tak penuh sebelum sore orangtua mereka akan marah bahkan kadang kadang ada yang dipukuli. Kekerasan sangat sulit terhindarkan dari kehidupan anak anak pada komunitas pemulung.

Setelah mencari plastic sampai jam empat sore jika waktunya menimbang mereka juga wajib membantu orangtua membersihkan plastic plastic dan mengangkat plastic plastic yang akan di timbang ke pedagang pengumpul.
Anak anak ini juga kadang bekerja sambilan. Jika musim hujan tiba mereka ojek payung. Jika malam hari beberapa diantara mereka jadi buruh angkat barang barang belanjaan di salah satu pusat perbelanjaan terdekat dari rumah mereka.

Hampir tak ada waktu luang untuk belajar. Sejak mereka bangun tidur pada pagi hari sudah ada kewajiban untuk mencari nafkah yang harus mereka laksanakan. Bekerja seperti telah menjadi tanggungjawab mereka pada orangtua.

Anak anak memiliki hak hak yang telah banyak di atur dalam perundagan ataupun konvesi konvensi intenatioanal. Termasuk hak mereka dalam memperoleh pendidikan. Bahkan konvensi international tahun 1989 yang telah disepakati pbb telah mengatur Negara Negara anggota untuk menyelegarakan pendidikan untuk semua anak anak.

Dua pasal dalam konvensi tersebut yakni pasal 28 dan 29 sangat jelas mengatur hal tersebut. hak hak anak terhadap pendidikan sudah semestinya mereka peroleh untuk keberlanjutan kehidupan yang lebih adil dan egaliter. Hak hak ini harusnya lebih mudah mereka dapatkan sebab telah banyak aturan aturan yang menguatkan hal tersebut.

Namun faktanya setiap kali anda berjalan keluar rumah anda akan menyaksikan anak anak di jalan sedang menenteng Koran atau seadang bernyanyi di pintu pintu mobil yang sedang berhenti di lampu merah. sudah menjadi pemandangan biasa bahkan mungkin seringkali anda kesal karna kehadiran mereka seringkali mengganggu aktifitas

Pastinya anda seringkali meihat anak anak berkeliling kompleks membawa gerobak berteriak “sampah” anak anak yang menyediakan jasa mengangkut sampah. Atau hanya sekedar mengendong karung lalu mengaisngais tong sampah yang ada di halaman anda atau tempat pembuangan sampah yang dikompleks. Dan jika melihat lebih dekat salah satu komunitas yang jadi pekerja anak.

Jika jalan jalan kepemukiman mereka, adalah pemandangan biasa jika menyaksikan anak anak memikul karung karung berisi gelas gelas dan botol plastic yang lebih besar dari badan mereka bahkan karung karungnya lebih besar di bandingkan badan orang besar.

Kadang anak anak ini menolak untuk bekerja mencari plastic jika hal ini berlangsung lama anak terusir dari rumah.

Kebanyakan dari mereka meniggalkan desa karna alasan perekonomian. Meski desa menyimpan sumberdaya yang banyak arus migrasi tetap tak bisa terbendung.

Tidak meratanya sumberdaya menjadi salah satu factor pendorong. Sumber daya dalam hal ini adalah tanah. Padahal Salah satu sumber daya alam inilah yang berpengaruh besar terhadap perekonomian satu keluarga. Pasalnya di desa desa belum ada sector industry yang juga bisa jadi salah satu alternative sumber penghidupan. Tanah menjadi sangat berperan penting sebab jika tak ada tanah mereka tak bisa bertani.

Selain itu pengelolaan sumberdaya di desa belum sesuai potensi yang di milki orang orang desa. Hal ini disebabkannya kurangnya informasi tentang pengelolaan sumberdaya alam. Ini tidak lepas dari peran pemerintah.

Perkembangan pembangunan di kota yang sangat timpang dibandingkan desa juga jadi factor pendorong orang orang bermigrasi ke kota untuk mencari peghidupan.

Jika tak ada pendidikan kritis pada rakyat miskin kota maka kondisi ini akan tetap langeng. Tentulah kita tak ingin melihat keberlangsungan system yang meyengsarakan rakyat. 
Kenapa pendidikan kritis pada anak anak uraban adalah pilihan kita dalam bergerak? hal ini pula yang harus kita jawab bersama dalam komunitas.

Seperti yang telah saya kemukakan di atas bahwa anak anak adalah generasi yang akan terus ada dan mengisi kehidupan dimasa masa mendatang dan tentunya jika kita ingin hidup yang lebih baik dimasa mendatang tentulah dari sekarang kita harus mempersiapkannya.

Pendidikan kritis pada anak atau dikenal dengan Pedagogi kritis (critical pedagogy) merupakan pendekatan pembelajaran yang berupaya membantu murid mempertanyakan dan menantang dominasi serta keyakinan dan praktek-praktek yang mendominasi (wikipedia).

Pedagogi kritis (critical pedagogy) dapat dimaknai sebagai pendidikan kritis yaitu pendidikan yang selalu mempertanyakan mengkritisi pendidikan itu sendiri dalam hal-hal fundamental tentang pendidikan baik dalam tataran filosofis, teori, sistem, kebijakan maupun implementasi implementasi.

Pedagogi kritis mendapat pengaruh besar dari seorang pemikir yang bernama Paulo freire mengemukan bahwa pendidikan harus dilaksanakan dalam upaya membebaskan manusia situasi sosial dan pendidikan yang menekan, mendominasi dan menjadikan manusia harus menerima apa adanya dalam situasi sosial yang ada tanpa menyadari dan mengkritisi situasi tersebut.

Pedagogi krtis dalam ideologi sebagai paraktek transformasi kondisi social yang mengdominasi menjadi tatanan sosaial yang adil dan egaliter.

Dalam prakteknya pendidikan kritis pada anak pengembangan kesadaran kritis melalui pemahaman hubungan antara masalah individu dan pengalaman dengan konteks sosial dimana individu itu berada, untuk itu langkah praxis penting untuk dilakukan sebagai pendekatan reflektif atas tindakan yang melibatkan siklus teori, aplikasi, evaluasi, refleksi dan kemudian kembali lagi pada teori. Siklus tersebut akan mendorong kesadaran kritis manusia akan diri dan lingkungannya. Tentunya ini praktik ini akan kita lakukan secara bersama sama.

Atas dasar itulah kita membuat sekolah Rakyat KAMI sebagai wadah anak anak urban poor memperoleh pendidikan alternative. Sebab di sekolah sekolah formal praktek pendidikan kritis pada anak tentunya tidak akan kita temui.

Padahal sangatlah penting memberi pendidikan krtis pada anak anak sejak dini dalam hal ini urban poor agar nantinya mereka mampu kritis terhadap kondisi mereka saat ini.

Seperti apa bentuk pedagogy kritis yang akan yang tepat untuk kondisi anak anak anak urban poor dan lebih khususnya lagi pemulung dan anak jalanan?

Kelas tanpa batas ini hanya salah satu bentuk reflektif kita terhadap kondisi anak anak pemulung yang seringkali berpindah pindah. Tidak bisa mengakses sekolah formal serta sulit menyusaikan disekolah tersebut. dan yang paling penting sekolah sekolah fomal ini tak hanya sulit diakses tapi juga tak menerapkan kurikulum yang bebasiskan pedagogy kritis.

Meskipun anak anak bersekolah disekolah sekolah formal karna tuntutan tatanan sosial yang mengiring orangtua anak anak untuk bersekolah pada pendidikan formal dengan harapan dapat merubah hidup. Bukan kesalahan pada orangtua yang memiliki pandangan demikian karna pada dasarnya pradigma pedidikan formal yang di bangun demikiaan adanya.

Kesadaran seperti itulah yang mendorong orangtua menyekolahkan anaknya pada pada sekolah sekolah formal. Dengan harapan merubah kuliatas hidup dengan bersekolah. Namun ternyata hal ini pun memperoleh kendala sebab orang tua anak anak urban khususnya pemulung tidak menyadari bahwa anak anak mereka tak siap dengan sekolah formal karna kesulitan menyusaikan diri. Penyebab dari factor lingkungan yang anak anak hadapi seringaki berubah ubah.

Karna tidak menyadari kondisi ini orangtua tetap menaruh harapan besar pada anak anak di pendidikan formil dan sebagai konsekuensinya anak anak ini banyak yang putus sekolah bahkan sama sekali tidak sekolah.
anak anak sangat sulit menyusaikan diri di sekolah baru. lingkungan pergaulan yang berbeda. pelajaran yang tak mampu di kejar. kadang anak anak prustasi dengan sekolah dan akhirnya seringkali membolos dan sampai akhir tak mau lagi kesekolah.

Kelas tanpa batas ini juga bukanlah hal yang paten untuk menjawab kondisi anak anak urban poor dalam memperoleh pendidikan. Kedepannya kita bisa membuat bentuk bentuk lain dari hasil refleksi, evaluasi setelah mempraksiskan konsep kelas tanpa batas.

Kelas tanpa batas ini konsep sederhananya adalah kelas yang mobile . kelas akan bisa berpindah di beberapa tempat. 

Kelas diatas kendaraan (mobil) yang berisi buku buku anak anak dan alat alat belajar yang lainnya. sehingga makin banyak anak anak pemulung dan anak anak jalanan lainnya yang bisa kita jangkau. Bukan lagi hanya 30 anak anak yang saat ini telah belajar bersama sama disekolah KAMI.

Tentunya kelas tanpa batas ini harus tetap menjadikan pendidikan kritis pada anak anak sebagai dasar kita dalam pelaksanaannya. 

Media belajar juga menjadi penting untuk di perhatikan. Media belajar yang sesuai konteks lingkungan tiap komunitas. Agar anak anak ini bisa peka terhadap apa yang ada disekitar mereka dan yang paling penting mereka tidak terasing dengan lingkungan mereka disinilah peran media belajar sangat bermanfaat.

Selain dua tujuan di atas media belajar yang sesuai konteks kelas dan lingkungan mereka juga membantu kreatifitas anak anak juga pendamping untuk selalu mengalih hal hal yang baru disekitar mereka.

Kelas tanpa batas ini hanya salah satu model pendidikan alternative yang akan kita lakukan tentunya dengan tidak meninggalkan model model pendidikan alternative yang telah kita kerjakan sebelumnya pada komunitas pemulung. Dan akan terus mencari dan menemukan model model pendidikan alternative yang lebih efektif dan membawa perubahan tatanan social yang lebih baik.

sultan salah satu anak anak yang belajar di sekolah KAMI.

Diunduh dari KLIK DISINI

Menjembatani Sekolah Alternatif dengan Formal

Menjembatani Sekolah Alternatif dengan Formal

CAHAYASIRA, Jakarta - Kokon Koswara (23), mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Garut, Jawa Barat, dalam beberapa bulan terakhir lebih sering mengisi masa akhir pekannya dengan naik turun gunung. Kegiatan itu harus dijalaninya sejak ia bersama sejumlah kawannya membantu warga kampung Dano menyelenggarakan sekolah alternatif Bale Rahayat.

Jarak delapan kilometer dari ibu kota Kecamatan Leles dengan kampung Dano ditempuh sepeda motor. Karena keuangan terbatas, Kokon dan kawan-kawannya tidak memilih menggunakan jasa ojek. Ongkos ojek ke kampung itu Rp 15.000 sekali jalan. Untuk menekan biaya, Kokon memilih menyewa motor dengan ongkos Rp 20.000 sehari. Biasanya motor itu ditumpangi bertiga, tidak peduli jalan terjal bebatuan yang harus dihadapinya.


“Karena masalah ongkos kami tidak bisa intensif mendampingi masyarakat Dano,” tutur Kokon.

Aktivitas Kokon dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Jaringan Pendidikan Kritis Garut itu didasari keprihatinan atas minimnya akses pendidikan anak-anak petani di wilayah itu. Dari delapan ribu penduduk di dusun itu, hanya segelintir saja yang tamat SD dan SMP. Selepas kelas dua, empat SD negeri di sekitar dusun itu kehilangan murid.
Sebagian besar putus di tengah jalan dalam keadaan tidak bisa membaca dan menulis. Anak laki-laki di bawah umur yang belum bisa baca tulis itu sebagian besar di bawa ke kota dipekerjakan, menjadi pembantu buruh konveksi tas kulit, dengan upah yang sangat rendah.
Baru beberapa bulan berjalan, kini Bale Rahayat harus menampung sekitar 150 murid. Dengan fasilitas seadanya, mereka belajar di emperan masjid dusun, rutin diajar oleh tiga tokoh masyarakat yang menjadi sukarelawan. Sejauh ini tidak ada sedikit pun dukungan dari pemerintah lokal. Andaikata mereka juga berhak atas dana kompensasi BBM sebesar rata-rata Rp 20.000 per bulan, hampir bisa dijamin anak-anak itu lebih pintar dibandingkan anak-anak yang memilih bersekolah di sekolah formal.
Korban diskriminasi
Anak-anak dari masyarakat kalangan bawah yang terempas dari jalur pendidikan formal memang menjadi korban diskriminasi kebijakan pendidikan nasional. Orang-orang miskin yang seharusnya dibela, justru dimarginalkan dalam proses pendidikan. Jangankan mereka yang memilih jalur sekolah alternatif. Anak-anak putus sekolah yang ditampung di PKBM yang disokong pemerintah pun diberi anggaran sisa. Upah gurunya hanya Rp 150.000 per bulan. Di lapangan honor sebesar itu dibagi lagi untuk beberapa tutor.
Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko Sukarso menceritakan, ia pernah menjumpai tutor yang diberi honorarium Rp 20.000 per bulan.
Di Jakarta, seorang siswa SD dari kelompok masyarakat miskin, mendapatkan subsidi dari pemerintah daerah dan pusat sebesar Rp 40.000 per anak. Bahkan subsidi dari Pemda DKI bagi siswa SD tahun depan diusulkan naik dua kali lipat menjadi Rp 500.000 per bulan.
Untuk anak-anak putus sekolah, Pemda DKI menyelenggarakan program retrieval dengan anggaran Rp 1 juta per anak per tahun. Dana itu tentu menjadi sebuah kemewahan bagi anak-anak dari masyarakat bawah yang bergabung di sanggar-sanggar pendidikan alternatif, seperti Sanggar Akar, Sanggar Ciliwung, atau Sanggar Anak Alam di Lebakbulus.
Kenyataannya dana itu dibekap oleh sekolah-sekolah formal yang ketat dikendalikan oleh pemerintah. Hasilnya adalah anak-anak miskin tetap saja tidak bisa bersekolah.
Anggaran dan substansi
Kesenjangan antara sekolah alternatif dengan sekolah formal tidak hanya persoalan anggaran tetapi juga substansi pendidikan yang ditawarkan. Sekolah-sekolah alternatif yang berkembang dalam semangat Paulo Freirean, yang mengintegrasikan semangat perlawanan terhadap sistem yang memiskinkan dalam pendidikan.
Sejumlah aktivitas pendidikan alternatif memiliki keyakinan bahwa tujuan akhir pendidikan alternatif bukan sekadar mengeluarkan anak dari kemiskinan yang membelenggu lingkungan dan keluarga mereka. Apalagi bila itu sekadar diartikan memberikan keterampilan agar mereka bisa berintegrasi dalam sistem yang kapitalistik.
Semangat perlawanan itu dapat dibaca dari kemunculan sekolah-sekolah alternatif di berbagai daerah. Sebutlah Madrasah Aliyah Bingkat di Sumatera Utara, Sekolah Anak Rima ”Sokola” di Jambi, Sanggar Akar dan Sanggar Ciliwung di Jakarta. Madrasah Tsanawiyah As Sururon dan Bale Rahayat di Garut, SMP Qaryah Thayibbah di Salatiga, Sanggar Anak Alam dan SD Mangunan di Yogyakarta, dan masih banyak lagi.
Ada dua model besar penyelenggaraan sekolah alternatif itu. Ada yang berkompromi dengan sistem pendidikan formal tetapi ada yang tidak mau berkompromi. Model pertama biasanya mengambil bentuk sekolah formal meski dengan sejumlah penyiasatan, menganggap penting nilai ijazah, dan mengukur mutu berdasarkan standar nilai rata-rata.
Pengamat pendidikan Dr Mochtar Buchori memberikan ilustrasi kedua model itu dengan membandingkan antara pendidikan alternatif Sanggar Akar dan SMP Alternatif Qaryah Thayibbah. Menurut Mochtar, Sanggar Akar lebih merupakan perjuangan sosio-kultural, yang dipentingkan adalah bagaimana anak menemukan arti dalam kehidupannya. Karena itu soal ujian dan ijazah dianggap remeh. Sedangkan sekolah model Qaryah Thayibbah lebih dilatarbelakangi perjuangan sosial-ekonomis, bagaimana memberikan pendidikan yang baik untuk anak-anak petani di desa.
Dalam model pendidikan pertama, anak-anak bisa menjadi kekuatan subversif dalam masyarakat tertentu. “Tergantung tujuannya, apakah pendidikan mau menormalkan atau mau melawan. Memberikan kemampuan belajar menjadi penting untuk memberikan kesempatan anak-anak marginal menumbuhkan jiwa kewiraswastaannya,” kata Mochtar.
Koordinator Sanggar Akar Ibe Karyanto mengatakan bahwa pendidikan alternatif untuk kaum miskin memang merupakan kritik radikal terhadap pendidikan formal. Paradigma yang dianut adalah paradigma pembebasan. Karena itu harus ada penyadaran kritis pada diri anak bahwa kemiskinan yang mereka alami bukan merupakan kenyataan yang terjadi begitu saja tetapi merupakan akibat dari proses pemiskinan.
“Bukan mengajak anak membangun konfrontasi tetapi justru mengajak anak secara visioner melihat sistem apa yang harus dibangun,” kata Ibe.
Dalam semangat perlawanan itu mungkinkah pendidikan alternatif berkolaborasi dengan pemerintah? Mengapa tidak? Menurut Eko Djatmiko, tidak ada masalah sekolah alternatif bekerja sama dengan pemerintah meskipun mereka mengembangkan semangat perlawanan. Demi pencerdasan bangsa, perbedaan-perbedaan antara formal dan nonformal, antara masyarakat dan negara, mesti disinergikan.
“Semangat perlawanan,” kata Lodi Paat, Pengajar Pengantar Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta, “yang selama ini terjadi juga bukan monopoli pendidikan nonformal atau sekolah alternatif.”
“Perlawanan seharusnya tidak hanya dilakukan sekolah-sekolah alternatif tetapi juga sekolah-sekolah formal. Dalam situasi sekarang, tanpa perlawanan, kita akan dirampok habis-habisan,” kata Lodi.
Pernah diterbitkan di Kompas, Kamis, 15 September 2005
Penulis : BAMBANG WISUDO

Seputar Pendidikan Alternatif di Indonesia

Seputar Pendidikan Alternatif di Indonesia
CAHAYASIRA, Mataram - Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara tradisional. Secara umum pendidikan alternatif memiliki persamaan, yaitu: pendekatannya berisfat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman.

Menurut Jery Mintz (1994:xi) pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu:
sekolah public pilihan (public choice);
sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk);
sekolah/lembaga pendidikan swasta/independent dan
pendidikan di rumah (home-based schooling).

Sekolah Publik Pilihan; adalah lembaga pendidikan dengan biaya negara (dalam pengertian sehari-hari disebut sekolah negeri yang menyelenggarakan program belajar dan pembelajaran yang berbeda dengan dengan program regular/konvensional, namun mengikuti sejumlah aturan baku yang telah ditentukan.

Contoh sekolah publik pilihan adalah sekolah terbuka / korespondeni (jarak jauh). Kondisi sekarang adalah SMP Terbuka, SMU Terbuka, Universitas Terbuka.Contoh lain adalah sekolah yang disebut sekolah magnet ( magnet school) atau sekolah bibit (seed school). Disebut sekolah magnet karena sekolah ini menawarkan program unggulan seperti dalam hal olahraga, atau seni. Disebut sekolah bibit karena program pendidikan yang diselenggarakan menghasilkan siswa-siswa yang mempunyai keunggulan dalam program yang ditekuni.

Sekolah/Lembaga Pendidikan Publik untuk Siswa Bermasalah; pengertian “siswa bermasalah” di sini meliputi mereka yang:
tinggal kelas karena lambat belajar,
nakal atau mengganggu lingkungan (termasuk lembaga permasyarakatan anak),
korban penyalahgunaan narkoba,
korban trauma dalam keluarga karena perceraian orang tua, ekonomi, etnis/budaya (termasuk bagi anak suku terasing dan anak jalanan dan gelandangan),
putus sekolah karena berbagai sebab,
belum pernah mengikuti program sebelumnya. Namun tidak termasuk di dalamnya sekolah luar biasa yang dibangun untuk penyandang kelainan fisik dan/atau kelainan mental seperti tunarungu, tuna netra, tuda daksa, dsb.

Sekolah/Lembaga Pendidikan Swasta; mempunyai jenis, bentuk dan program yang sangat beragam, termasuk di dalamnya program pendidikan bercirikan agama seperti pesantren & sekolah Minggu; lembaga pendidikan bercirikan keterampilan
fungsional seperti kursus atau magang; lembaga pendidikan dengan program perawatan atau pendidikan usia dini seperti penitipan anak, kelompok bermain dan taman kanak-kanak.

Pendidikan di Rumah (Home Schooling); termasuk dalam kategori ini adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga sendiri terhadap anggota keluarganya yang masih dalam usia sekolah. Pendidikan ini diselenggarakan sendiri oleh orangtua/keluarga dengan berbagai pertimbangan, seperti: menjaga anak-anak dari kontaminasi aliran atau falsafah hidup yang bertentangan dengan tradisi keluarga (misalnya pendidikan yang diberikan keluarga yang menganut fundalisme agama atau kepercayaan tertentu); menjaga anak-anak agar selamat/aman dari pengaruh negatif lingkungan; menyelamatkan anak-anak secara fisik maupun mental dari kelompok sebayanya; menghemat biaya pendidikan; dan berbagai alasan lainnya.

Dari data yang saya terima, keluarga di Amerika merasa lebih aman menyekolahkan anak mereka di rumah karena sekolah di sana adalah lembaga yang tempat dan efektif untuk berdagang narkoba, kejadian ktd (kehamilan yang tidak diinginkan), dan perilaku kekerasan dan penindasan terhadap remaja –seperti kasus STPDN dulu mungkin ya?-.

Perkembangan Pendidikan Alternatif
Bentuk pendidikan alternative tertua yang dikelola masyarakat untuk masyarakat adalah Pesantren. Diperkirakan dimulai pada abad 15, kali pertama dikembangkan oleh Raden Rahmad alias Sunan Ampel. Kemudian muncul pesantren Giri oleh Sunan Giri, pesantren Demak oleh Raden Fatah dan Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.

Selain pesantren, Taman Siswa didirikan pada tahun 1922. Selain Taman Siswa,Mohammad Syafei membuka sekolah di Kayutaman. Sekolah dengan semboyan,“Carilah sendiri dan kerjakanlah sendiri”. Siswa diberi keterampilan untuk membuat
sendiri meja dan kursi yang digunakan bagi mereka belajar. Namun Belanda telah membumihanguskan sekolah tersebut.

Sekolah Laboratorium IKIP Malang, lebih dikenal sebagai Sekolah LaboratoriumIbu Pakasi (SLIP) karena sekolah ini dipimpin oleh Prof. Dr. Supartinah Pakasi. Sekolah yang didirikan pada tahun 1967 yang dimulai dari pendirian Taman Kanak-kanak dan pendidikan dasar. Sekolah ini disebut juga SD 8 tahun karena memberikan pendidikan dasar setingkat SMP dalam waktu delapan tahun. Sekolah ini menarik perhatian baik pendidik dari dalam dan luar negeri.

Namun apa yang telah dibangun Ibu Pakasi harus diberhentikan tahun 1974 karena harus mengikuti program baku pemerintah dalam bentuk Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP). Sedangkan proyek ini belum pernah dipastikan berhasil namun harus menenggelamkan usaha yang bertahun-tahun berhasil dan teruji efektivitasnya. Hal ini merupakan intervensi yang berlebihan dari pemerintah dan patut disesalkan.

Tahun 1972 dalam rangka kerja sama SEAMEO INNOTECH Center diselenggarakan suatu model pendidikan dasar yang disebut IMPAC (Instruction Managed by Parent,
Community, and Teacher) yang di Indonesiakan dengan istilah PAMONG (Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orang Tua, dan Guru). Proyek ini dilaksanakan di desa Alastuwo dan Kebakramat kabupaten Sukoharjo, Surakarta dibawah koordinasi Badan Pengembangan Pendidikan (sekarang menjadi Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan) dan pelaksana lapangan adalah tim IKIP Yogyakarta cabang Surakarta (yang kemudian menjadi Universitas Negeri Sebelas Maret).

Sistem Pamong dinilai berhasil karena siswa-siswanya lulus EBTA sekolah regular, dan bahkan program ini diikuti dan diikuti dan telah meluluskan sejumlah orang tua/dewasa yang belum pernah berkesempatan menamatkan pendidikan dasar.

Namun program ini terpaksa dihentikan karena adanya kebijakan pemerintah berupaSD Inpres, selain itu program PAMONG ini dianggap telah melanggar ketentuan batas usia anak sekolah dasar 6 s.d 15 tahun dengan diberikannya kesempatan orang dewasa mengikuti program tersebut.

Lain cerita, tahun 1974 Direktorat Pendidikan Masyarakat pada Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga mengembangkan paket belajar pendidikan dasar bagi orang dewasa. Paket ini disebut KEJAR Paket A (kemudian disusul dengan Paket B) Kejar yang merupakan akronim dari Kelompok Belajar atau Bekerja dan Belajar dimaksudkan mengejar “ketertinggalan”.

Paket A terdiri dari 100 buku modul yang disusun membawa pelajaran dasar membaca, menulis, berhitung, bahasa Indonesia, kewarganegaraan dan keterampilan sebenarnya mengangkat pendidikan life skill dari masyarakat. Semula program ini dilaksanakan di tempat-tempat informal seperti balai desa dan masjid dengan pendekatan kemasyarakatan, namun tragis nasibnya, dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai Wajib Belajar Sembilan Tahun, maka pendekatan kemasyarakatan dengan sifat fungsional dan life skill ini harus digantikan dengan kurikulum baku Sekolah Dasar.

Timbul gonjang-ganjing karena meluapnya lulusan Sekolah Dasar dan tidak tertampung di SMP regular dan menimbulkan keresahan sosial maka tahun 1979 dirintis SMP Terbuka oleh Pustekkom Dikbud. SMP Terbuka dinilai sangat berhasil karena telah dilaksanakan di seluruh propinsi dan tercatat pada tahun 1998/1999 telah dikembangkan di 2.356 lokasi dengan siswa lk 280.000 orang. SMP Terbuka sekarang telah dikembangkan menjadi SMU Terbuka .

“Universitas Tikyan” merupakan satu sebutan pendidikan bagi anak-anak jalanan di daerah Yogyakarta tahun 1988 namun baru beroperasi tahun 1996 oleh Yayasan Humana). Istilah Tikyan ini dipopulerkan oleh wartawan Media Indonesia yang merupakan singkatan “sitik-sitik lumayan” Berbagai macam keterampilan di ajarkan oleh kampus ini seperti membatik, kerajinan tangan, membuat kertas daur ulang kerajinan kayu, melukis dan lain-lain. (Media Indonesia, Minggu 25 Oktober 1998:9). Kampus Tikyan tentu saja tidak menerbitkan ijasah karena tujuan pendidikan mereka adalah memanusiakan manusia. Pendidikan semacam Tikyan yang juga disebut rumah singgah tentu sangat banyak di Indonesia.

Pengalaman saya ketika di kampus IKIP Jakarta adalah kami menjalankan pendidikan Taman Kanak-Kanak Keliling (TK Keliling) lewat Unit Kegiatan Mahasiswa kami. TK Keliling ini didirikan tahun 1982 dan syukur alhamdulillah masih terus berjalan hingga kini. Tujuan TK Keliling adalah mengenalkan pendidikan dini bagi anak-anak di daerah tertinggal atau slum area (belum pernah kan ngerasain dicium murid dengan ingus yang terus ngalir? hehehe…)

Mengenai Pendidikan di Rumah (Home Schooling/Home Based Schooling) di Indononesia saya belum mendapat data yang pas, meskipun saya yakin pendidikan tersebut telah ada dan berkembang di Indonesia. Namun saya sempat mencatat, kelompok masyarakat yang menyelenggarakan Home Schoolingdi Indonesia adalah Kelompok Musik Sufi Debu yang dipimpin oleh Syeh Yusuf. Mereka menyelenggarakan sendiri pendidikan bagi keluarga dan anak mereka.

Kalau di Amerika Home Schooling telah dilaksanakan baik lokal maupun nasional. Organisasi Home Schooling yang bersifat nasional di Amerika (Amerika Utara) adalah: Islamic Home School Association of North America ((IHSANA), Jewish Home Educator’s Network, and National Institute for Christian Home Education.

Disarikan dari: Artikel Kuliah; Pendidikan Alternatif Sebuah Agenda Reformasi, Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. (1999).

Sumber KLIK DISINI

Belajar Dari Sekolah Alternatif

Belajar Dari Sekolah Alternatif

CAHAYASIRA, Lombok - BERDASARKAN data BPS, penduduk miskin Indonesia pada 2003 sebanyak 37 juta jiwa. Mayoritas kaum papa ini hidup di pedesaan dengan fasilitas untuk menopang kehidupan mereka sehari-hari sangat terbatas. Keberadaan rumah sakit, sekolah di banyak pedesaan di negara kita masih belum mampu mengakomodasi hak-hak dasar kaum miskin. Kehidupan mereka yang secara finansial amat lemah semakin membuat mereka sulit untuk mengakses fasilitas-fasilitas pendidikan atau kesehatan yang jumlahnya sangat terbatas itu.

Jika banyak dari masyarakat kita yang sampai saat ini sulit untuk mengakses kebutuhan dasar seperti pendidikan, bagaimana program wajib belajar 9 tahun bisa berjalan sukses?

Tidak meratanya pembangunan di negara ini telah membuat sejumlah wilayah masih terisolasi. Sebagai contoh, banyak area yang sampai kini belum memilik sarana transportasi dan komunikasi yang memadai.

Kita bisa bayangkan, bagaimana masyarakat yang hidup di tempat-tempat terpencil dan di sejumlah area lainnya yang merupakan kantung-kantung kemiskinan akan sangat sulit untuk mengakses pendidikan wajar 9 tahun?

Begitu juga dengan akses pendidikan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah konflik, seperti Poso, Ambon, dan lain-lain. Tidak bisa disangkal, masih tingginya tingkat konflik horizontal berimplikasi buruk terhadap pelaksanaan wajar 9 tahun.

Akibatnya, banyak mereka yang tinggal di daerah konflik, akses untuk mendapat pendidikan menjadi terputus sama sekali. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan. Bagaimanapun, pendidikan untuk masyarakat yang tinggal di wilayah konflik juga harus bisa diakomodasi. Bukankah program wajar 9 tahun itu harus diikuti seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali?

Untunglah sejumlah kelompok masyarakat kita yang peduli dengan kaum marginal di negara ini mampu memberikan kontribusi positif berupa pembuatan sejumlah sekolah khusus orang miskin. Mereka percaya, pendidikan merupakan obat mujarab untuk meng ubah seseorang, dari yang miskin menjadi tidak miskin, dari yang bodoh menjadi berpengetahuan.

Sejumlah model sekolah pun mereka kembangkan untuk pendidikan kaum miskin. Di antaranya, model sekolah alternatif di Salatiga, sekolah gratis Alfa Centauri di Bandung, dan model sekolah di wilayah-wilayah konflik. Berikut ini akan diulas sejumlah sekolah yang bisa dikatakan cukup berhasil mengakomodasi hak-hak orang miskin untuk mendapatkan pengajaran.

Sekolah QT dan Centauri
Penyelenggaraan model sekolah alternatif di Salatiga, yakni SMP alternatif Qaryah Thayyibah (QT) terbilang sangat sukses. Bahkan, gaung kesuksesan sekolah tersebut terkenal di Indonesia. Sekolah itu pun kini jadi inspirasi bagi masyarakat di wilayah lain untuk membuat sekolah sejenis SMP alternatif QT.

Ide pembuatan SMP alternatif QT di Desa Kalibening, Salatiga berangkat dari keprihatinan Baharuddin, warga desa setempat yang kini menjabat sebagai kepala di sekolah tersebut, atas mahalnya biaya pendidikan. Masyarakat setempat yang hidup dalam kemiskinan, tidak akan mampu menyekolahkan anak-anaknya. Untuk kehidupan sehari-hari saja warga Kalibening sudah sulit memenuhinya, apalagi menyediakan biaya sekolah, buku, transportasi. Akibatnya, banyak anak di desa itu yang hanya bersekolah sampai SD, itu pun banyak yang tidak lulus.

Melihat kondisi desanya itu, Baharuddin menginginkan adanya perubahan dan dia pun segera memutuskan untuk mendirikan sekolah setingkat SMP untuk membantu warga miskin mengakses pendidikan murah dan berkualitas.

Melalui rembukan di antara warga setempat, disepakati pembuatan sekolah alternatif QT yang kurikulumnya tetap didasarkan pada kurikulum nasional (kurnas). Hanya, pada sekolah QT, muatan pengetahuan teknologi informasi dan bahasa Inggris mendapat porsi yang lebih banyak.

Bantuan koneksi internet dari kawan Baharuddin membuat sekolah QT tidak pernah putus dengan jaringan informasi dunia. Para anak didik semangat untuk menggunakan internet guna menghapuskan rasa haus mereka akan ilmu. Hasilnya, sekolah QT bisa unggul jauh dibandingkan sekolah induknya. Bahkan, sejumlah muridnya berhasil menjuarai kontes pidato bahasa Inggris mengalahkan para siswa yang berasal dari sekolah yang berbiaya mahal.

Meski mengadopsi kurnas, Baharuddin mengadopsi pendidikan yang membebaskan muridnya berperan aktif dalam kelas. Para murid, yang merupakan anak-anak dari buruh tani setempat, begitu lantang berbicara di kelas. Mereka berani mengemukakan pendapatnya sendiri. Tentunya, sikap-sikap seperti ini sangat baik sebagai modal mereka untuk mengarungi kehidupan nanti.

Selain sekolah QT di Salatiga, di Bandung ada juga sekolah yang dikhususkan untuk orang miskin, yakni SMA Alfa Centauri. Sekolah ini digagas oleh Sony Sugema, salah seorang pengusaha bimbingan belajar (bimbel). Sony melihat banyak orang miskin yang pintar tidak bisa meneruskan sekolah karena keterbatasan finansial orang tua mereka.

Akhirnya, dengan mengalokasikan sejumlah keuntungan bisnisnya, SMA Alfa Centauri pun didirikan pada Juli 2003. Sekolah ini memang benar-benar gratis. Tidak heran, banyak yang tertarik untuk sekolah di sana. Tentu saja, tidak semua bisa diterima. Karena itu, pihak penyelenggara pendidikan di SMA Alfa Centauri mengadakan seleksi untuk memilih siapa saja yang berhak sekolah di SMA yang terletak di Jln. Supratman Bandung itu.

Model sekolah ala Sony ini seharusnya bisa juga diteladani para pengusaha lainnya. Bagaimanapun, suksesnya wajar 9 tahun butuh kerja sama dari berbagai pihak, termasuk melibatkan peran aktif pengusaha sebagai penyokong dana guna terselenggaranya pendidikan yang berkualitas dan mengakomodasi kepentingan orang miskin.

Sekolah di daerah konflik
Model sekolah alternatif di sejumlah wilayah konflik, berawal dari hancurnya fasilitas pendidikan seperti yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah pasca konflik Mei 2000. Agar hak masyarakat mengakses pendidikan dasar tidak terputus, sejumlah masyarakat dan LSM yang peduli dengan pendidikan, memutuskan membuat sekolah alternatif.

Para siswa di wilayah Poso dikumpulkan tanpa melihat perbedaan latar belakang mereka, baik dari unsur sara maupun status ekonomi. Para anak didik diberikan pengertian bahwa perbedaan suku, agama di antara mereka bukan sesuatu yang harus dipertentangkan.

Tentu saja, peran mentor atau guru pembimbing untuk mendidik anak-anak di wilayah konflik sangat vital. Para mentor ini harus mampu menangkap gejolak psikologis yang mungkin timbul akibat trauma setelah menyaksikan kerusuhan sosial di wilayah mereka tinggal.

Tentu saja, masyarakat yang hidup di wilayah konflik punya banyak keterbatasan, baik dari aspek ekonomi maupun aspek lainnya, sehingga kehidupan mereka ditopang dana dari pemerintah atau lembaga lainnya. Karena itu, untuk pembiayaan pembuatan sekolah alternatif di wilayah konflik, sudah jelas para orang tua harus dibebaskan dari biaya pendidikan anak-anak mereka.

Sumber KLIK DISINI