BREAKING NEWS

Merariq, Tradisi Unik Suku Sasak

Merariq, Tradisi Unik Suku Sasak

CAHAYASIRA, LOMBOK - Salah satu tradisi yang cukup unik di Pulau Seribu Pantai Lombok ini adalah upacara sakral Marariq yaitu tradisi kawin lari. Merariq berarti melarikan calon istri ke rumah kerabat atau keluarga mempelai laki-laki, kemudian nantinya keluarga atau kerabat tersebut menyampaikan pesan kepada keluarga mempelai perempuan bahwa anaknya telah dilarikan.

Tradisi ini sudah ada sejak dahulu, dan pemuda Sasak lebih memilih cara ini daripada meminta atau melamar karena mereka menganggap Merariq atau melarikan calon istri itu lebih ksatria.

Setelah si mempelai laki-laki 'menculik' calon istrinya, kemudian kerabat dari pihak lelaki memberi kabar kepada pihak perempuan dalam istilah Sasak disebut Nyelabar. Namun Nyelabar tidak boleh dilakukan oleh orang tua dari si lelaki. Nyelabar pun harus mengikuti tata cara yang sudah menjadi standar di Suku Sasak, yaitu jumlah kerabat 5 orang yang mengenakan pakaian adat dan harus minta ijin ke tokoh adat atau kliang di desa / kampung tempat si calon istri berasal.

Tradisi Merariq ini hingga kini terus berlangsung sebagai warisan budaya asli Suku Sasak yang unik dan sakral.

3 Cara Memasang Tenda Sederhana

3 Cara Memasang Tenda Sederhana

CAHAYASIRA, MATARAM - Saat kita tersesat dan hanya membawa selembar terpal plastik atau jas hujan, aku akan memberikan tips bagaiman sebaiknya kita memdirikan tenda sederhana tapi aman dan tetap nyaman. 

Mulailah dengan apa yang kita bawa dan menggunakannya secara maksimal dengan terpal atau jas hujan yang kita miliki satu-satunya. Anda juga bisa memasukkan beberapa bahan dari alam yang kita dapat dari alam sekitar yang prinsipnya gampang atau mudah dibuat.  

Inilah tiga model tenda darurat yang bisa kita buat :

Model Tenda Darurat

1. Tenda Tunggal
Tenda ini biasanya dimaksudkan untuk satu orang dan hanya digunakan untuk tidur atau meringkuk jika hanya itu yang Anda inginkan. Jelas, bentuk tenda yang seperti ini dapat menjaga tempisan air hujan dan juga dimaksudkan untuk melindungi Anda dari angin di satu sisi sementara memungkinkan panas dari api di sisi lain. Desain khusus ini menyediakan sedikit perlindungan dari tanah juga.

Dan inilah variasi dari a-frame ... untuk saat-saat di mana Anda tidak tahan angin (tidak pernah mencoba tapi terlihat keren!). Perhatikan bahwa hal itu bergantung pada keinginan anda saat itu (Anda bisa menggunakan kayu atau ranting kayu untuk menjaga tenda cukup kuat.



Model Tenda Darurat

2. Tenda Doom
Biasanya, hal ini dilakukan dengan  "bersandar" pada batang pohon atau sesuatu yang padat dan biasanya bertujuan agar relatif mudah dan cepat dilakukan. Tenda darurat seperti ini juga untuk menghindari hujan dan memungkinkan api unggun hangatnya hanya tertuju pada kita selain untuk menghindari angin. Dibutuhkan beberapa trik untuk mengikat terpal dengan beberapa model pengikatan.

Model Tenda Darurat
3. Tenda Terbuka
Dan inilah sedikit variasi jika Anda ingin sedikit lebih banyak ruang untuk berdiri dan melakukan berbagai kegiatan dibawahnya.

Mari Membuat Rumah Hijau Mini

Mari Membuat Rumah Hijau Mini
CAHAYASIRA, JAKARTA - Ide ini cocok bagi rumah yang memiliki halaman sempit dan memanfaatkan barang bekas yang membuat dunia ini makin runyam.

Ayo kita kembangkan terus ide ini dan ditunggu berbagi pengalamannya.

sumber: thegardenglove

Ayo Mendaki Gunung Rinjani

Ayo Mendaki Gunung Rinjani

CAHAYASIRA, MATARAM - Gunung Rinjani (3726 mdpl) terletak di pulau Lombok-Nusa Tenggara Barat. Gunung ini merupakan gunung berapi kedua tertinggi di Indonesia, dan mempunyai danau yang bernama Segara Anakan. 

Puncak Rinjani dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu jalur Sembalun dan jalur Senaru. Rute Sembalun agak panjang tetapi datar, dan cuaca lebih panas karena melalui padang savana yang terik (suhu dingin tetapi radiasi matahari langsung membakar kulit). krim penahan panas matahari sangat dianjurkan.Rute Senaru adalah tanjakan tanpa jeda, tetapi cuaca lembut karena melalui hutan.

Untuk pendaki yang ingin menikmati puncak dulu baru turun ke danau Segara Anakan di sarankan berangkat melalui rute Sembalun dan turun melalui rute Senaru. Dan sebaliknya apabila ingin menikmati danau Segara Anakan baru kemudian puncak dianjurkan berangkat melewati rute Senaru dulu baru turun melalui rute Sembalun. Hal ini di karenakan rute Senaru lebih dekat ke danau Segara Anakan, dan apabila kita melalui rute Senaru maka kita akan bertemu danau Segara Anakan terlebih dahulu.

Peta Jalur Pendakian Rinjani
Untuk pendaki yang ingin menikmati puncak dulu baru turun ke danau Segara Anakan di sarankan berangkat melalui rute Sembalun dan turun melalui rute Senaru. Dan sebaliknya apabila ingin menikmati danau Segara Anakan baru kemudian puncak dianjurkan berangkat melewati rute Senaru dulu baru turun melalui rute Sembalun. Hal ini di karenakan rute Senaru lebih dekat ke danau Segara Anakan, dan apabila kita melalui rute Senaru maka kita akan bertemu danau Segara Anakan terlebih dahulu.
Desa Sembalun Lawang
Rute Pendakian Rinjani
Sembalun - Pos 1
, Pendakian dimulai dari desa Sembalun lawang yang berada pada ketinggian (1.065 mdpl). Sebelum mendaki kita harus melapor di pos taman nasional. Disini juga terdapat losmen untuk beristirahat dengan nama Pondok Sembalun. Dari jalan raya gerbang pendakian segera terlihat dan disamping gerbang ada patung bawang yang besar. Ini mungkin dikarenakan daerah ini adalah penghasil bawang di Lombok. Sepajang jalur ini kita hanya melewati padang rumput yang mendaki dan menurun sesekali menyeberangi kali yang kering serta beberapa cemara gunung. Estimasi waktu 2 jam sampai pos 1 / Pos Pemantauan (1.432 mdpl).
Jalur Torean Rinjani
Rute Pendakian Rinjani
Sembalun - Pos 1
, Pendakian dimulai dari desa Sembalun lawang yang berada pada ketinggian (1.065 mdpl). Sebelum mendaki kita harus melapor di pos taman nasional. Disini juga terdapat losmen untuk beristirahat dengan nama Pondok Sembalun. Dari jalan raya gerbang pendakian segera terlihat dan disamping gerbang ada patung bawang yang besar. Ini mungkin dikarenakan daerah ini adalah penghasil bawang di Lombok. Sepajang jalur ini kita hanya melewati padang rumput yang mendaki dan menurun sesekali menyeberangi kali yang kering serta beberapa cemara gunung. Estimasi waktu 2 jam sampai pos 1 / Pos Pemantauan (1.432 mdpl).                                                                                                                  
Pos 1 - pos 2 , pos 1 atau Pos Pemantauan merupakan sebuah pondok tanpa lantai yang terletak ditengah jalur di daerah padang rumput serta berada pada ketinggian 1300m dpl. Pos ini tidak ada sumber air. Jalur dari pos ini ke Pos II masih sedikit menanjak dan padang rumput yang terbuka serta masih melewati beberapa aliran lahar dan kali kering. Jalan setapaknya sendiri kadang menurun cukup curam. Normal jarak tempuh jalur ini adalah ±1 jam sampai pos 2 / Pos Tengengean (1.523 mdpl)

Pos 2 - pos 3, Pos 2 atau Pos Tengengean terletak di sebelah kiri jalan agak menjorok ke dalam dengan ketinggian 1500m dpl, dan didepan pos ini terdapat sungai kering serta jembatan diatasnya yang merupakan jalur pada rute ini. Disini kita akan bertemu sebuah persimpangan jalan yang memisahkan jalur ke bukit penyesalan (kanan) dan ke bukit penyiksaan/penderitaan (kiri). Saat ini jalur yang sering dipakai adalah bukit penyiksaan, karena jalur bukit penyesalan jembatannya sudah hancur dan jalan setapaknya sudah tidak begitu jelas. Di pos ini kita bisa jumpai sumber mata air dan sebuah toilet yang merupakan proyek dari bantuan New Zealand. Posnya sendiri letaknya disebuah lembah yang diapit bukit. Estimasi waktu 1 jam sampai Pos 3 / Pos Pada Balong (1.807 mdpl),
 

Menuju Danau Sagara Anak
Pos 3 - Plawangan sembalun, selanjutnya kita akan dihadapkan dengan tanjakan bukit sembilan, disebut demikian karena memang melewati sembilan bukit sebelum sampai di igir-igir punggungan. Selanjutnya belok kiri menuju ke Pelawangan Sembalun (2.708 mdpl). Plawangan sembalun adalah pos terakhir untuk mencapai puncak Rinjani, merupakan sebuah dataran yang cukup luas yang cukup untuk beberapa tenda. Dari sini terlihat jelas danau Segara Anakan dan gunung Baru Jari (2.376 mdpl). Di pos ini terdapat sumber air yang berupa pancuran.

Jarak tempuh normal ± 3,5 jam. Warning : Hati-hati terhadap monyet didaerah ini, mereka sangat agresif untuk merebut makanan setiap pendaki yang lengah. Sebaiknya ketika summit attack makanan di packing ke dalam tas dan tenda di gembok. Karena dalam beberapa kasus monyet sangat pintar membuka resleting tenda atau menyobek tenda. Cara lain jangan tinggalkan tenda tanpa ada yang mengawasi. Selanjutnya kita istirahat sambil mempersiapkan pendakian ke puncak Rinjani pada pukul satu malam.


Jalur Palawangan
Puncak (Summit attack)Perjalanan dari Pos Pelawangan Sembalun ke puncak mulai dihadapkan pada tanjakan-tanjakan yang curam dan berdebu, Medannya berupa pasir, batu, tanah. Jalurnya mungkin mirip ke puncak mahameru walaupun katanya tidak seterjal Mahameru. Satu langkah maju diikuti setengah langkah turun. Untuk mendaki puncak Rinjani ini tidak diperlukan alat bantu, cukup stamina, kesabaran dan "passion". Estimasi waktu pendakian 4 jam.
Puncak Gunung Rinjani
Spoiler for Puncak
Selepas jam 09.00 WITA, sebaiknya turun kembali ke Pelawangan karena angin akan sangat kencang bersamaan dengan semakin tingginya matahari.

Perjalanan dilanjutkan menuju Palawangan Sembalun kemudian turun ke danau Segara Anakan. Danau Segara Anak dipenuhi oleh ikan-ikan jenis Carper dan Mujair yang cukup besar. Kita bisa melihat beberapa buah gua (Gua Susu) dengan sumber-sumber air belerang yang biasanya digunakan masyarakat sasak untuk mencuci senjata-senjata pusaka. Selain itu terdapat Air Kalak dalam bahasa setempat artinya air panas, membentuk kolam-kolam kecil yang mempunyai suhu yang berbeda-beda. Jika kita ingin berendam, tinggal pilih : suhu panas, hangat atau hangat kuku. Disekitar danau Segara Anak juga terdapat Gunung Baru Jari sebutan Suku Sasak yang artinya gunung baru jadi.

Selamat mendaki di akhir tahun.

Sekolah, Paulo Freire, dan Pendidikan Alternatif

Sekolah, Paulo Freire, dan Pendidikan Alternatif
CAHAYASIRA, Surabaya - Sudah lama dunia pendidikan formal (sekolah) kita dikritik sebagai tempat yang kurang nyaman bagi siswa didik dalam mengeksplorasi dan menumbuhkembangkan jatidiri. Sekolah tak ubahnya kerangkeng penjara yang menindas para murid. Mereka harus menjadi sosok yang serba penurut, patuh, dan taat pada komando. Imbasnya, mereka menjadi sosok mekanis yang kehilangan sikap kreatif dan mandiri. Mereka belum terbebas sepenuhnya dari suasana keterpasungan dan penindasan.

Yang lebih mencemaskan, dunia persekolahan kita dinilai hanya menjadi milik anak-anak orang kaya. Usai menuntut ilmu, mereka menjadi penindas-penindas baru sebagai efek domino dari proses dan sistem yang selama ini mereka dapatkan di sekolah. Sungguh sangat beralasan jika banyak pengamat pendidikan yang menilai bahwa dunia persekolahan kita selama ini hanya melahirkan kaum penindas. Sementara itu, anak-anak dari kalangan masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki akses terhadap dunia pendidikan hanya akan menjadi kacung dan kaum tertindas.

Situasi keterpasungan dan ketertindasan yang berlangsung dalam dunia pendidikan kita, disadari atau tidak, telah menimbulkan resistensi dari para penggiat sosial. Mereka banyak merintis berdirinya pendidikan alternatif yang berupaya membebaskan peserta didik dari situasi keterpasungan dan penindasan. Kalau dalam dunia persekolahan kita identik dengan penyeragaman dan indoktrinasi, pendidikan alternatif mencoba memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan pelajaran yang disukai atau memilih jenis aktivitas yang sesuai dengan minat dan hobi mereka masing-masing, bebas upacara, bahkan bebas ujian. Tempat belajar pun tak selalu berada di sebuah gedung yang mentereng atau laboratorium ber-AC, tetapi bisa berlangsung di bawah jembatan, tepian rel kereta api, atau di gubug-gubug kardus.

Bisa jadi, maraknya pendidikan alternatif semacam itu terilhami oleh ide-ide cemerlang dari Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brasil. Ia dikenal sebagai seorang tokoh yang sangat kontroversial lantaran keberaniannya menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Sistem pendidikan yang ada dianggap sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin, tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena hanya menguntungkan penguasa, menurut Freire, pendidikan yang hanya melahirkan kaum penindas semacam itu harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru.

Sekilas tentang Paulo Freire
Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar Hukum, Filsafat, dan Psikologi.

Sambil kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di sekolahmenengah. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959, lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran siswa didik menimbulkan kekhawatiran di kalangan penguasa. Oleh karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964, kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970.

Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan alternatif lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi terhadap filsafat pendidikan yang berporos pada pemahaman tentang manusia. Masyarakat feodal (hirarkis) merupakan struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, sehingga menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.

Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya, putaran waktu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan, sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari sepenuhnya. Dalam kebudayaan bisu semacam itu, kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka.

Untuk menguasai realitas hidup, termasuk menyadari kebisuan itu, bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang membuat siswa didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk membuat mereka mampu mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar, termasuk suara sang pendidik.

Dalam kondisi semacam itu, Freire terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Disebut pendidikan gaya bank, sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada siswa didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan, yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Siswa didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya siswa didik itu sendiri yang “disimpan” karena miskinnya daya cipta. Pendidikan gaya bank dinilai hanya menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.

Untuk menghapuskan pendidikan gaya bank, Freire menawarkan pendidikan alternatif melalui sistem pendidikan hadap-masalah. Dalam proses pendidikan semacam ini, kontradiksi guru-murid (guru menjadi sumber segala pengetahuan, sedangkan murid menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Siswa didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai objek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya, guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan siswa didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, siswa didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi dalam proses pendidikan pun tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket, tetapi sejumlah permasalahan yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh siswa didik dalam konteksnya sehari-hari.

Quovadis Dunia Pendidikan Kita?
Lantas, adakah relevansi antara pendidikan alternatif ala Freire dan dunia pendidikan(formal) kita? Dari setting sosial dan kultural, struktur masyarakat kita memang berbeda dengan kondisi masyarakat Brasil. Namun, berdasarkan struktur hierarkis masyarakat kita yang cenderung bergaya feodal, agaknya pendidikan alternatif ala Freire bisa dijadikan sebagai bahan analogi dan refleksi terhadap dunia pendidikan kita yang dinilai belum mampu membebaskan siswa didik dari keterpasungan dan ketertindasan.

Konon, pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada. Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan kurang lebih 80% kekayaan Indonesia, padahal jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris “tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme baru, baik dalam rangka balas dendam maupun dalam “penindasan” terhadap sesama kaum “tertindas”. Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari ketertindasannya.

Kritikan Freire agaknya masih cukup relevan jika kita kaitkan dengan fenomena korupsi yang dinilai sudah menjadi budaya yang mengakar dalam masyarakat kita. Korupsi dengan berbagai bentuknya merupakan manifestasi dari imbas proses pendidikan kita yang dianggap belum sanggup membebaskan dan mencerahkan siswa didik dari perilaku yang kerdil dan cacat moral. Mereka ingin menjadi neo-borjuis, neo-feodal, atau penindas-penindas baru secara instan melalui praktik korupsi sebagai upaya untuk mengembalikan modal sebagai dampak mahalnya biaya pendidikan. Quovadis dunia pendidikan (formal) kita kalau hanya melahirkan borjuis dan penindas-penindas baru?

Jangan salahkan pendidikan alternatif kalau dunia pendidikan (formal) kita gagal menyediakan tempat yang nyaman bagi masyarakat miskin untuk menimba ilmu. Jangan ratapi pula maraknya koruptor yang masih terus bebas melenggang mengemplang harta negara kalau tak ada perubahan mendasar dalam desain dan sistem pendidikan kita. Juga, jangan tangisi puluhan sarjana gadungan yang harus menggadaikan harkat dan martabat kemanusiaannya dengan membeli ijazah palsu kalau struktur masyarakat kita masih memberhalakan feodalisme dan borjuisme!

sumber KLIK DISINI

Pendidikan Alternatif dan Kelas Tanpa Batas

Pendidikan Alternatif dan Kelas Tanpa Batas

CAHAYASIRA, MAKASAR - Kami merasa tertarik untuk menyajikan pengalaman kawan-kawan dari manapun untuk menshare pengalaman dan pandangannya terhadap sekolah. Untuk pertama kami memilih salah satu tulisan dari weblog yang kami anggap sangat kaya dengan pengalaman dan tentu saja kritis. Inilah dia tulisan itu adanya.

Kenapa Pendidikan Alternative harus ada?
Pertanyaan itu mungkin harus kita jawab bersama. Dan saya akan memulai sedikit menguarai pertanyaan di atas. Tidak bisa kita pungkiri bahwa hari esok tergantung dari seberapa bagus kualitas generasi yang akan mengisi kehidupan dimasa mendatang.


Anak anaklah yang akan tumbuh beberapa puluh tahun kedepan dan akan mengisi kehidupan. Anak anak akan terus lahir dan bertumbuh tiap harinya. Di masa depan yang masih dalam tebakan kita. Tapi tak berarti tak bisa kita predikisikan masalah masalah yang mungkin akan terjadi. Hari ini adalah gambaran di masa mendatang.

Kemiskinan di Negara ini tentulah bisa menjadi gambaran untuk memprediksikan masa depan anak anak. Pada tahun 2011 saja BPS mencatat 29, 89 juta jiwa yang berada di bawah garis kemiskinan itupun standar garis kemiskinan di Indonesia yang di tetapkan FOA sangat miris. Pendapatan 7000 ribu rupia perhari sudah dianggap tidak miskin. Dan standar BPS sendiri 7,791 rupia perhari.

Sangat mengelikan. Coba kita bayangkan dengan 7 ribu rupiah apa bisa memenuhi kebutuhan kita sehari. Untuk memenuhi makan yang rutin 3 kali dalam sehari saja ini tidak mengcukupi. Apalagi untuk kebutuhan yang lain seperti kesehatan dan pendidikan.

Belum lagi sector pendidikan dan kesehatan telah diprivatisasi oleh Negara ini. Sehingga aksesnya tidak mudah untuk rakyat miskin.

Kondisi ini di perparah karna sumberdaya alam yang seharusnya jadi sumber penghidupan rakyat juga telah diprivatisasi oleh Negara sehingga monopoli sumberdaya alam terjadi dimana mana. Kemiskinan di Indonesia bukan karna kurangnya sumberdaya tapi melainkan karna tidak berpihaknya pemerintah pada rakyat miskin dalam mengeola sumberdaya .

Seperti yang telah dikemukan oleh peraih nobel ekonomi dari india Amarta sen dalam tulisannya“ kelaparan dan kemiskinan di negara berkembang terjadi bukan karena tidak tersedianya bahan makanan, tetapi karena masyarakat tidak memiliki kebebebasan dalam memperoleh akses itu”. 

Kurangnya akses inilah yang menyebabkan kemiskinan dan hilangnya hak hak social, politik, dan ekonomi rakyat miskin.

Jika melihat kemiskinan dalam konteks anak anak dan pendidikan maka kitapun harus tetap melihat fakta fakta yang telah di catat dalam angka angka sebagai landasan paling dasar untuk kita melihat kondisi anak anak.

Hari ini saja sudah tercatat 3,7 juta jiwa anak anak miskin. Mereka jadi pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tak hanya jumlah pekerja anak yang sangat menakjubkan jumlah anak anak yang putus sekolah tak kalah menakjubkannya data komnas perlindungan anak di 33 propinsi pada tahun 2007 mencatat 11,7 juta jiwa anak yang mengalami putus sekolah.

Kemiskinan membuat mereka tak mampu mengakses sekolah selain karna biaya pendidikan yang tak mampu mereka penuhi.

Pembangunan yang berorientasi pada pada sector materil dan berpusat dikota mendorong derasnya migrasi kekota kota. Membuat makin banyak miskin kota.

Komunitas pemulung adalah orang orang desa yang meniggalkan kampungnya berpindah kekota dan menetap ataupun hanya datang pada musim musim tertentu. Salah satu komunitas pemulung yang berdiam di jalan poltek UNHAS mereka datang dari kecamatan tompobulu gowa desa malakaji.

Sudah lebih dari 30 tahun mereka mulai ada jalan poltek unhas. Sejak awal kedatangan mereka sudah bekerja sebagai pemulung hingga kini. Lokasi tersebut telah banyak menampung orang orang dari malakaji. Mereka memiliki ikatan kekerabatan satu sama lainnya.

Namun tidak semua dari mereka hidup menetap kadang kadang ada yang datang di waktu waktu tertentu. Atau seringakali ada yang berpindah di pemukiman pemulung lainnya karna konflik antar sesama pemulung ataupun dengan pedagan pengumpul.

Ada beberapa kepala keluarga telah menetap bahkan sudah menjadi pemulung dan bermukim ditempat tersebut lebih dari 30 tahun lamanya. 

Daeng Nali adalah pemulung terlama yang disana, jauh sebelum bangunan kampus UNHAS berdiri dia telah bermukim disana. Ia pun belum memulung di dalam kampus hanya mencari samapah plastic di sekitar perumahan terdekat dari pemukimannya.

Sampah sampah plastic saat itu belum ada gelas gelas dan botol botol plastic. Yang bisa di dapatkan saat mencari hanya peralatan rumah tangga yang sudah rusak, seperti baskom plastik, ember plastik, dan peralatan rumah tangga yang berbahan plastik atau benda benda lainnya yang berbahan besi.

Mereka membawa serta anak anak mereka hidup di kota. Setiap harinya Anak anak bekerja seperti orangtua mereka . Dari pagi hari hingga sore mereka mencari gelas plastic dan botol botol di sekitar kampus.

Jika karung karung yang Anak anak bawa keluar mencari tak penuh sebelum sore orangtua mereka akan marah bahkan kadang kadang ada yang dipukuli. Kekerasan sangat sulit terhindarkan dari kehidupan anak anak pada komunitas pemulung.

Setelah mencari plastic sampai jam empat sore jika waktunya menimbang mereka juga wajib membantu orangtua membersihkan plastic plastic dan mengangkat plastic plastic yang akan di timbang ke pedagang pengumpul.
Anak anak ini juga kadang bekerja sambilan. Jika musim hujan tiba mereka ojek payung. Jika malam hari beberapa diantara mereka jadi buruh angkat barang barang belanjaan di salah satu pusat perbelanjaan terdekat dari rumah mereka.

Hampir tak ada waktu luang untuk belajar. Sejak mereka bangun tidur pada pagi hari sudah ada kewajiban untuk mencari nafkah yang harus mereka laksanakan. Bekerja seperti telah menjadi tanggungjawab mereka pada orangtua.

Anak anak memiliki hak hak yang telah banyak di atur dalam perundagan ataupun konvesi konvensi intenatioanal. Termasuk hak mereka dalam memperoleh pendidikan. Bahkan konvensi international tahun 1989 yang telah disepakati pbb telah mengatur Negara Negara anggota untuk menyelegarakan pendidikan untuk semua anak anak.

Dua pasal dalam konvensi tersebut yakni pasal 28 dan 29 sangat jelas mengatur hal tersebut. hak hak anak terhadap pendidikan sudah semestinya mereka peroleh untuk keberlanjutan kehidupan yang lebih adil dan egaliter. Hak hak ini harusnya lebih mudah mereka dapatkan sebab telah banyak aturan aturan yang menguatkan hal tersebut.

Namun faktanya setiap kali anda berjalan keluar rumah anda akan menyaksikan anak anak di jalan sedang menenteng Koran atau seadang bernyanyi di pintu pintu mobil yang sedang berhenti di lampu merah. sudah menjadi pemandangan biasa bahkan mungkin seringkali anda kesal karna kehadiran mereka seringkali mengganggu aktifitas

Pastinya anda seringkali meihat anak anak berkeliling kompleks membawa gerobak berteriak “sampah” anak anak yang menyediakan jasa mengangkut sampah. Atau hanya sekedar mengendong karung lalu mengaisngais tong sampah yang ada di halaman anda atau tempat pembuangan sampah yang dikompleks. Dan jika melihat lebih dekat salah satu komunitas yang jadi pekerja anak.

Jika jalan jalan kepemukiman mereka, adalah pemandangan biasa jika menyaksikan anak anak memikul karung karung berisi gelas gelas dan botol plastic yang lebih besar dari badan mereka bahkan karung karungnya lebih besar di bandingkan badan orang besar.

Kadang anak anak ini menolak untuk bekerja mencari plastic jika hal ini berlangsung lama anak terusir dari rumah.

Kebanyakan dari mereka meniggalkan desa karna alasan perekonomian. Meski desa menyimpan sumberdaya yang banyak arus migrasi tetap tak bisa terbendung.

Tidak meratanya sumberdaya menjadi salah satu factor pendorong. Sumber daya dalam hal ini adalah tanah. Padahal Salah satu sumber daya alam inilah yang berpengaruh besar terhadap perekonomian satu keluarga. Pasalnya di desa desa belum ada sector industry yang juga bisa jadi salah satu alternative sumber penghidupan. Tanah menjadi sangat berperan penting sebab jika tak ada tanah mereka tak bisa bertani.

Selain itu pengelolaan sumberdaya di desa belum sesuai potensi yang di milki orang orang desa. Hal ini disebabkannya kurangnya informasi tentang pengelolaan sumberdaya alam. Ini tidak lepas dari peran pemerintah.

Perkembangan pembangunan di kota yang sangat timpang dibandingkan desa juga jadi factor pendorong orang orang bermigrasi ke kota untuk mencari peghidupan.

Jika tak ada pendidikan kritis pada rakyat miskin kota maka kondisi ini akan tetap langeng. Tentulah kita tak ingin melihat keberlangsungan system yang meyengsarakan rakyat. 
Kenapa pendidikan kritis pada anak anak uraban adalah pilihan kita dalam bergerak? hal ini pula yang harus kita jawab bersama dalam komunitas.

Seperti yang telah saya kemukakan di atas bahwa anak anak adalah generasi yang akan terus ada dan mengisi kehidupan dimasa masa mendatang dan tentunya jika kita ingin hidup yang lebih baik dimasa mendatang tentulah dari sekarang kita harus mempersiapkannya.

Pendidikan kritis pada anak atau dikenal dengan Pedagogi kritis (critical pedagogy) merupakan pendekatan pembelajaran yang berupaya membantu murid mempertanyakan dan menantang dominasi serta keyakinan dan praktek-praktek yang mendominasi (wikipedia).

Pedagogi kritis (critical pedagogy) dapat dimaknai sebagai pendidikan kritis yaitu pendidikan yang selalu mempertanyakan mengkritisi pendidikan itu sendiri dalam hal-hal fundamental tentang pendidikan baik dalam tataran filosofis, teori, sistem, kebijakan maupun implementasi implementasi.

Pedagogi kritis mendapat pengaruh besar dari seorang pemikir yang bernama Paulo freire mengemukan bahwa pendidikan harus dilaksanakan dalam upaya membebaskan manusia situasi sosial dan pendidikan yang menekan, mendominasi dan menjadikan manusia harus menerima apa adanya dalam situasi sosial yang ada tanpa menyadari dan mengkritisi situasi tersebut.

Pedagogi krtis dalam ideologi sebagai paraktek transformasi kondisi social yang mengdominasi menjadi tatanan sosaial yang adil dan egaliter.

Dalam prakteknya pendidikan kritis pada anak pengembangan kesadaran kritis melalui pemahaman hubungan antara masalah individu dan pengalaman dengan konteks sosial dimana individu itu berada, untuk itu langkah praxis penting untuk dilakukan sebagai pendekatan reflektif atas tindakan yang melibatkan siklus teori, aplikasi, evaluasi, refleksi dan kemudian kembali lagi pada teori. Siklus tersebut akan mendorong kesadaran kritis manusia akan diri dan lingkungannya. Tentunya ini praktik ini akan kita lakukan secara bersama sama.

Atas dasar itulah kita membuat sekolah Rakyat KAMI sebagai wadah anak anak urban poor memperoleh pendidikan alternative. Sebab di sekolah sekolah formal praktek pendidikan kritis pada anak tentunya tidak akan kita temui.

Padahal sangatlah penting memberi pendidikan krtis pada anak anak sejak dini dalam hal ini urban poor agar nantinya mereka mampu kritis terhadap kondisi mereka saat ini.

Seperti apa bentuk pedagogy kritis yang akan yang tepat untuk kondisi anak anak anak urban poor dan lebih khususnya lagi pemulung dan anak jalanan?

Kelas tanpa batas ini hanya salah satu bentuk reflektif kita terhadap kondisi anak anak pemulung yang seringkali berpindah pindah. Tidak bisa mengakses sekolah formal serta sulit menyusaikan disekolah tersebut. dan yang paling penting sekolah sekolah fomal ini tak hanya sulit diakses tapi juga tak menerapkan kurikulum yang bebasiskan pedagogy kritis.

Meskipun anak anak bersekolah disekolah sekolah formal karna tuntutan tatanan sosial yang mengiring orangtua anak anak untuk bersekolah pada pendidikan formal dengan harapan dapat merubah hidup. Bukan kesalahan pada orangtua yang memiliki pandangan demikian karna pada dasarnya pradigma pedidikan formal yang di bangun demikiaan adanya.

Kesadaran seperti itulah yang mendorong orangtua menyekolahkan anaknya pada pada sekolah sekolah formal. Dengan harapan merubah kuliatas hidup dengan bersekolah. Namun ternyata hal ini pun memperoleh kendala sebab orang tua anak anak urban khususnya pemulung tidak menyadari bahwa anak anak mereka tak siap dengan sekolah formal karna kesulitan menyusaikan diri. Penyebab dari factor lingkungan yang anak anak hadapi seringaki berubah ubah.

Karna tidak menyadari kondisi ini orangtua tetap menaruh harapan besar pada anak anak di pendidikan formil dan sebagai konsekuensinya anak anak ini banyak yang putus sekolah bahkan sama sekali tidak sekolah.
anak anak sangat sulit menyusaikan diri di sekolah baru. lingkungan pergaulan yang berbeda. pelajaran yang tak mampu di kejar. kadang anak anak prustasi dengan sekolah dan akhirnya seringkali membolos dan sampai akhir tak mau lagi kesekolah.

Kelas tanpa batas ini juga bukanlah hal yang paten untuk menjawab kondisi anak anak urban poor dalam memperoleh pendidikan. Kedepannya kita bisa membuat bentuk bentuk lain dari hasil refleksi, evaluasi setelah mempraksiskan konsep kelas tanpa batas.

Kelas tanpa batas ini konsep sederhananya adalah kelas yang mobile . kelas akan bisa berpindah di beberapa tempat. 

Kelas diatas kendaraan (mobil) yang berisi buku buku anak anak dan alat alat belajar yang lainnya. sehingga makin banyak anak anak pemulung dan anak anak jalanan lainnya yang bisa kita jangkau. Bukan lagi hanya 30 anak anak yang saat ini telah belajar bersama sama disekolah KAMI.

Tentunya kelas tanpa batas ini harus tetap menjadikan pendidikan kritis pada anak anak sebagai dasar kita dalam pelaksanaannya. 

Media belajar juga menjadi penting untuk di perhatikan. Media belajar yang sesuai konteks lingkungan tiap komunitas. Agar anak anak ini bisa peka terhadap apa yang ada disekitar mereka dan yang paling penting mereka tidak terasing dengan lingkungan mereka disinilah peran media belajar sangat bermanfaat.

Selain dua tujuan di atas media belajar yang sesuai konteks kelas dan lingkungan mereka juga membantu kreatifitas anak anak juga pendamping untuk selalu mengalih hal hal yang baru disekitar mereka.

Kelas tanpa batas ini hanya salah satu model pendidikan alternative yang akan kita lakukan tentunya dengan tidak meninggalkan model model pendidikan alternative yang telah kita kerjakan sebelumnya pada komunitas pemulung. Dan akan terus mencari dan menemukan model model pendidikan alternative yang lebih efektif dan membawa perubahan tatanan social yang lebih baik.

sultan salah satu anak anak yang belajar di sekolah KAMI.

Diunduh dari KLIK DISINI

Menjembatani Sekolah Alternatif dengan Formal

Menjembatani Sekolah Alternatif dengan Formal

CAHAYASIRA, Jakarta - Kokon Koswara (23), mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Garut, Jawa Barat, dalam beberapa bulan terakhir lebih sering mengisi masa akhir pekannya dengan naik turun gunung. Kegiatan itu harus dijalaninya sejak ia bersama sejumlah kawannya membantu warga kampung Dano menyelenggarakan sekolah alternatif Bale Rahayat.

Jarak delapan kilometer dari ibu kota Kecamatan Leles dengan kampung Dano ditempuh sepeda motor. Karena keuangan terbatas, Kokon dan kawan-kawannya tidak memilih menggunakan jasa ojek. Ongkos ojek ke kampung itu Rp 15.000 sekali jalan. Untuk menekan biaya, Kokon memilih menyewa motor dengan ongkos Rp 20.000 sehari. Biasanya motor itu ditumpangi bertiga, tidak peduli jalan terjal bebatuan yang harus dihadapinya.


“Karena masalah ongkos kami tidak bisa intensif mendampingi masyarakat Dano,” tutur Kokon.

Aktivitas Kokon dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Jaringan Pendidikan Kritis Garut itu didasari keprihatinan atas minimnya akses pendidikan anak-anak petani di wilayah itu. Dari delapan ribu penduduk di dusun itu, hanya segelintir saja yang tamat SD dan SMP. Selepas kelas dua, empat SD negeri di sekitar dusun itu kehilangan murid.
Sebagian besar putus di tengah jalan dalam keadaan tidak bisa membaca dan menulis. Anak laki-laki di bawah umur yang belum bisa baca tulis itu sebagian besar di bawa ke kota dipekerjakan, menjadi pembantu buruh konveksi tas kulit, dengan upah yang sangat rendah.
Baru beberapa bulan berjalan, kini Bale Rahayat harus menampung sekitar 150 murid. Dengan fasilitas seadanya, mereka belajar di emperan masjid dusun, rutin diajar oleh tiga tokoh masyarakat yang menjadi sukarelawan. Sejauh ini tidak ada sedikit pun dukungan dari pemerintah lokal. Andaikata mereka juga berhak atas dana kompensasi BBM sebesar rata-rata Rp 20.000 per bulan, hampir bisa dijamin anak-anak itu lebih pintar dibandingkan anak-anak yang memilih bersekolah di sekolah formal.
Korban diskriminasi
Anak-anak dari masyarakat kalangan bawah yang terempas dari jalur pendidikan formal memang menjadi korban diskriminasi kebijakan pendidikan nasional. Orang-orang miskin yang seharusnya dibela, justru dimarginalkan dalam proses pendidikan. Jangankan mereka yang memilih jalur sekolah alternatif. Anak-anak putus sekolah yang ditampung di PKBM yang disokong pemerintah pun diberi anggaran sisa. Upah gurunya hanya Rp 150.000 per bulan. Di lapangan honor sebesar itu dibagi lagi untuk beberapa tutor.
Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko Sukarso menceritakan, ia pernah menjumpai tutor yang diberi honorarium Rp 20.000 per bulan.
Di Jakarta, seorang siswa SD dari kelompok masyarakat miskin, mendapatkan subsidi dari pemerintah daerah dan pusat sebesar Rp 40.000 per anak. Bahkan subsidi dari Pemda DKI bagi siswa SD tahun depan diusulkan naik dua kali lipat menjadi Rp 500.000 per bulan.
Untuk anak-anak putus sekolah, Pemda DKI menyelenggarakan program retrieval dengan anggaran Rp 1 juta per anak per tahun. Dana itu tentu menjadi sebuah kemewahan bagi anak-anak dari masyarakat bawah yang bergabung di sanggar-sanggar pendidikan alternatif, seperti Sanggar Akar, Sanggar Ciliwung, atau Sanggar Anak Alam di Lebakbulus.
Kenyataannya dana itu dibekap oleh sekolah-sekolah formal yang ketat dikendalikan oleh pemerintah. Hasilnya adalah anak-anak miskin tetap saja tidak bisa bersekolah.
Anggaran dan substansi
Kesenjangan antara sekolah alternatif dengan sekolah formal tidak hanya persoalan anggaran tetapi juga substansi pendidikan yang ditawarkan. Sekolah-sekolah alternatif yang berkembang dalam semangat Paulo Freirean, yang mengintegrasikan semangat perlawanan terhadap sistem yang memiskinkan dalam pendidikan.
Sejumlah aktivitas pendidikan alternatif memiliki keyakinan bahwa tujuan akhir pendidikan alternatif bukan sekadar mengeluarkan anak dari kemiskinan yang membelenggu lingkungan dan keluarga mereka. Apalagi bila itu sekadar diartikan memberikan keterampilan agar mereka bisa berintegrasi dalam sistem yang kapitalistik.
Semangat perlawanan itu dapat dibaca dari kemunculan sekolah-sekolah alternatif di berbagai daerah. Sebutlah Madrasah Aliyah Bingkat di Sumatera Utara, Sekolah Anak Rima ”Sokola” di Jambi, Sanggar Akar dan Sanggar Ciliwung di Jakarta. Madrasah Tsanawiyah As Sururon dan Bale Rahayat di Garut, SMP Qaryah Thayibbah di Salatiga, Sanggar Anak Alam dan SD Mangunan di Yogyakarta, dan masih banyak lagi.
Ada dua model besar penyelenggaraan sekolah alternatif itu. Ada yang berkompromi dengan sistem pendidikan formal tetapi ada yang tidak mau berkompromi. Model pertama biasanya mengambil bentuk sekolah formal meski dengan sejumlah penyiasatan, menganggap penting nilai ijazah, dan mengukur mutu berdasarkan standar nilai rata-rata.
Pengamat pendidikan Dr Mochtar Buchori memberikan ilustrasi kedua model itu dengan membandingkan antara pendidikan alternatif Sanggar Akar dan SMP Alternatif Qaryah Thayibbah. Menurut Mochtar, Sanggar Akar lebih merupakan perjuangan sosio-kultural, yang dipentingkan adalah bagaimana anak menemukan arti dalam kehidupannya. Karena itu soal ujian dan ijazah dianggap remeh. Sedangkan sekolah model Qaryah Thayibbah lebih dilatarbelakangi perjuangan sosial-ekonomis, bagaimana memberikan pendidikan yang baik untuk anak-anak petani di desa.
Dalam model pendidikan pertama, anak-anak bisa menjadi kekuatan subversif dalam masyarakat tertentu. “Tergantung tujuannya, apakah pendidikan mau menormalkan atau mau melawan. Memberikan kemampuan belajar menjadi penting untuk memberikan kesempatan anak-anak marginal menumbuhkan jiwa kewiraswastaannya,” kata Mochtar.
Koordinator Sanggar Akar Ibe Karyanto mengatakan bahwa pendidikan alternatif untuk kaum miskin memang merupakan kritik radikal terhadap pendidikan formal. Paradigma yang dianut adalah paradigma pembebasan. Karena itu harus ada penyadaran kritis pada diri anak bahwa kemiskinan yang mereka alami bukan merupakan kenyataan yang terjadi begitu saja tetapi merupakan akibat dari proses pemiskinan.
“Bukan mengajak anak membangun konfrontasi tetapi justru mengajak anak secara visioner melihat sistem apa yang harus dibangun,” kata Ibe.
Dalam semangat perlawanan itu mungkinkah pendidikan alternatif berkolaborasi dengan pemerintah? Mengapa tidak? Menurut Eko Djatmiko, tidak ada masalah sekolah alternatif bekerja sama dengan pemerintah meskipun mereka mengembangkan semangat perlawanan. Demi pencerdasan bangsa, perbedaan-perbedaan antara formal dan nonformal, antara masyarakat dan negara, mesti disinergikan.
“Semangat perlawanan,” kata Lodi Paat, Pengajar Pengantar Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta, “yang selama ini terjadi juga bukan monopoli pendidikan nonformal atau sekolah alternatif.”
“Perlawanan seharusnya tidak hanya dilakukan sekolah-sekolah alternatif tetapi juga sekolah-sekolah formal. Dalam situasi sekarang, tanpa perlawanan, kita akan dirampok habis-habisan,” kata Lodi.
Pernah diterbitkan di Kompas, Kamis, 15 September 2005
Penulis : BAMBANG WISUDO