BREAKING NEWS
Showing posts with label Profil. Show all posts
Showing posts with label Profil. Show all posts

Menjembatani Sekolah Alternatif dengan Formal

Menjembatani Sekolah Alternatif dengan Formal

CAHAYASIRA, Jakarta - Kokon Koswara (23), mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Garut, Jawa Barat, dalam beberapa bulan terakhir lebih sering mengisi masa akhir pekannya dengan naik turun gunung. Kegiatan itu harus dijalaninya sejak ia bersama sejumlah kawannya membantu warga kampung Dano menyelenggarakan sekolah alternatif Bale Rahayat.

Jarak delapan kilometer dari ibu kota Kecamatan Leles dengan kampung Dano ditempuh sepeda motor. Karena keuangan terbatas, Kokon dan kawan-kawannya tidak memilih menggunakan jasa ojek. Ongkos ojek ke kampung itu Rp 15.000 sekali jalan. Untuk menekan biaya, Kokon memilih menyewa motor dengan ongkos Rp 20.000 sehari. Biasanya motor itu ditumpangi bertiga, tidak peduli jalan terjal bebatuan yang harus dihadapinya.


“Karena masalah ongkos kami tidak bisa intensif mendampingi masyarakat Dano,” tutur Kokon.

Aktivitas Kokon dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Jaringan Pendidikan Kritis Garut itu didasari keprihatinan atas minimnya akses pendidikan anak-anak petani di wilayah itu. Dari delapan ribu penduduk di dusun itu, hanya segelintir saja yang tamat SD dan SMP. Selepas kelas dua, empat SD negeri di sekitar dusun itu kehilangan murid.
Sebagian besar putus di tengah jalan dalam keadaan tidak bisa membaca dan menulis. Anak laki-laki di bawah umur yang belum bisa baca tulis itu sebagian besar di bawa ke kota dipekerjakan, menjadi pembantu buruh konveksi tas kulit, dengan upah yang sangat rendah.
Baru beberapa bulan berjalan, kini Bale Rahayat harus menampung sekitar 150 murid. Dengan fasilitas seadanya, mereka belajar di emperan masjid dusun, rutin diajar oleh tiga tokoh masyarakat yang menjadi sukarelawan. Sejauh ini tidak ada sedikit pun dukungan dari pemerintah lokal. Andaikata mereka juga berhak atas dana kompensasi BBM sebesar rata-rata Rp 20.000 per bulan, hampir bisa dijamin anak-anak itu lebih pintar dibandingkan anak-anak yang memilih bersekolah di sekolah formal.
Korban diskriminasi
Anak-anak dari masyarakat kalangan bawah yang terempas dari jalur pendidikan formal memang menjadi korban diskriminasi kebijakan pendidikan nasional. Orang-orang miskin yang seharusnya dibela, justru dimarginalkan dalam proses pendidikan. Jangankan mereka yang memilih jalur sekolah alternatif. Anak-anak putus sekolah yang ditampung di PKBM yang disokong pemerintah pun diberi anggaran sisa. Upah gurunya hanya Rp 150.000 per bulan. Di lapangan honor sebesar itu dibagi lagi untuk beberapa tutor.
Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko Sukarso menceritakan, ia pernah menjumpai tutor yang diberi honorarium Rp 20.000 per bulan.
Di Jakarta, seorang siswa SD dari kelompok masyarakat miskin, mendapatkan subsidi dari pemerintah daerah dan pusat sebesar Rp 40.000 per anak. Bahkan subsidi dari Pemda DKI bagi siswa SD tahun depan diusulkan naik dua kali lipat menjadi Rp 500.000 per bulan.
Untuk anak-anak putus sekolah, Pemda DKI menyelenggarakan program retrieval dengan anggaran Rp 1 juta per anak per tahun. Dana itu tentu menjadi sebuah kemewahan bagi anak-anak dari masyarakat bawah yang bergabung di sanggar-sanggar pendidikan alternatif, seperti Sanggar Akar, Sanggar Ciliwung, atau Sanggar Anak Alam di Lebakbulus.
Kenyataannya dana itu dibekap oleh sekolah-sekolah formal yang ketat dikendalikan oleh pemerintah. Hasilnya adalah anak-anak miskin tetap saja tidak bisa bersekolah.
Anggaran dan substansi
Kesenjangan antara sekolah alternatif dengan sekolah formal tidak hanya persoalan anggaran tetapi juga substansi pendidikan yang ditawarkan. Sekolah-sekolah alternatif yang berkembang dalam semangat Paulo Freirean, yang mengintegrasikan semangat perlawanan terhadap sistem yang memiskinkan dalam pendidikan.
Sejumlah aktivitas pendidikan alternatif memiliki keyakinan bahwa tujuan akhir pendidikan alternatif bukan sekadar mengeluarkan anak dari kemiskinan yang membelenggu lingkungan dan keluarga mereka. Apalagi bila itu sekadar diartikan memberikan keterampilan agar mereka bisa berintegrasi dalam sistem yang kapitalistik.
Semangat perlawanan itu dapat dibaca dari kemunculan sekolah-sekolah alternatif di berbagai daerah. Sebutlah Madrasah Aliyah Bingkat di Sumatera Utara, Sekolah Anak Rima ”Sokola” di Jambi, Sanggar Akar dan Sanggar Ciliwung di Jakarta. Madrasah Tsanawiyah As Sururon dan Bale Rahayat di Garut, SMP Qaryah Thayibbah di Salatiga, Sanggar Anak Alam dan SD Mangunan di Yogyakarta, dan masih banyak lagi.
Ada dua model besar penyelenggaraan sekolah alternatif itu. Ada yang berkompromi dengan sistem pendidikan formal tetapi ada yang tidak mau berkompromi. Model pertama biasanya mengambil bentuk sekolah formal meski dengan sejumlah penyiasatan, menganggap penting nilai ijazah, dan mengukur mutu berdasarkan standar nilai rata-rata.
Pengamat pendidikan Dr Mochtar Buchori memberikan ilustrasi kedua model itu dengan membandingkan antara pendidikan alternatif Sanggar Akar dan SMP Alternatif Qaryah Thayibbah. Menurut Mochtar, Sanggar Akar lebih merupakan perjuangan sosio-kultural, yang dipentingkan adalah bagaimana anak menemukan arti dalam kehidupannya. Karena itu soal ujian dan ijazah dianggap remeh. Sedangkan sekolah model Qaryah Thayibbah lebih dilatarbelakangi perjuangan sosial-ekonomis, bagaimana memberikan pendidikan yang baik untuk anak-anak petani di desa.
Dalam model pendidikan pertama, anak-anak bisa menjadi kekuatan subversif dalam masyarakat tertentu. “Tergantung tujuannya, apakah pendidikan mau menormalkan atau mau melawan. Memberikan kemampuan belajar menjadi penting untuk memberikan kesempatan anak-anak marginal menumbuhkan jiwa kewiraswastaannya,” kata Mochtar.
Koordinator Sanggar Akar Ibe Karyanto mengatakan bahwa pendidikan alternatif untuk kaum miskin memang merupakan kritik radikal terhadap pendidikan formal. Paradigma yang dianut adalah paradigma pembebasan. Karena itu harus ada penyadaran kritis pada diri anak bahwa kemiskinan yang mereka alami bukan merupakan kenyataan yang terjadi begitu saja tetapi merupakan akibat dari proses pemiskinan.
“Bukan mengajak anak membangun konfrontasi tetapi justru mengajak anak secara visioner melihat sistem apa yang harus dibangun,” kata Ibe.
Dalam semangat perlawanan itu mungkinkah pendidikan alternatif berkolaborasi dengan pemerintah? Mengapa tidak? Menurut Eko Djatmiko, tidak ada masalah sekolah alternatif bekerja sama dengan pemerintah meskipun mereka mengembangkan semangat perlawanan. Demi pencerdasan bangsa, perbedaan-perbedaan antara formal dan nonformal, antara masyarakat dan negara, mesti disinergikan.
“Semangat perlawanan,” kata Lodi Paat, Pengajar Pengantar Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta, “yang selama ini terjadi juga bukan monopoli pendidikan nonformal atau sekolah alternatif.”
“Perlawanan seharusnya tidak hanya dilakukan sekolah-sekolah alternatif tetapi juga sekolah-sekolah formal. Dalam situasi sekarang, tanpa perlawanan, kita akan dirampok habis-habisan,” kata Lodi.
Pernah diterbitkan di Kompas, Kamis, 15 September 2005
Penulis : BAMBANG WISUDO

Peserta Belajar Sekolah Dusun Cahaya Sira

Peserta Belajar Sekolah Dusun Cahaya Sira

Berikut kami sampaikan peserta didik dari sekolah dusun Cahaya Sira:
  1. Abila Januariska (4 tahun), perempuan, Dusun Lendang Brora
  2. Abi Syahputra (6 tahun), laki-laki, Dusun Sira Daya
  3. Aliya Jazaa Alfatir, (6 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  4. Ahmad Ali Haidar, (6 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  5. Baiq Nazira, (5 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  6. Baiq Lenia Sari, (5 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  7. Baiq Hikmahuzzila, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  8. Ikram Mulhuda, (5 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  9. Ica Apriani, (4 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  10. Julian Lestari, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  11. Juli Agustini, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  12. Baiq Rohma Dani Safitri, (4 tahun) – perempuan, Dusun Lendang Brora
  13. Khairul Anam, (6 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  14. Muhammad Gigih Setiawan, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  15. Mitani, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  16. Nayatul Ma’wa, (4 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  17. Nia Anindia, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  18. Lamoza Vetami Sila, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  19. Lalu Luffi, (5 tahun) – laki-laki, Dusun Lendang Blora
  20. Vina Herviana, (6 tahun) – perempuan, Dusun Lendang Blora
  21. Hayyan Hassan Atsigah, (6 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Timur
  22. Rizki Afandi, (6 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  23. Fahmi Umar Abdul Azis, (5 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  24. Syafa Zahratul Fitri, (5 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  25. Tahzi Burrahman, (6 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  26. Nurrahmawati, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  27. Hendra Sanjaya, (4 tahun) – Laki-laki, Dusun Sira Daya
  28. Husmaidi Latif, (5 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  29. Ilal Muzakkir, (5 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  30. Uhiya Jayani, (5 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  31. Deanan Safitri, (4 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  32. Fitratunnisa, (4 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  33. Danil Fathan, (4 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya

Profile Sekolah Dusun Cahaya Sira

Profile Sekolah Dusun Cahaya Sira


Tujuan Umum
Menanamkan rasa percaya diri lebih dini, memunculkan kireatifitas sesuai dengan tahap tumbuh kembang anak, beradaptasi dengan lingkungan dan orang lain atau teman sebaya.
Tujuan Khusus
Setelah selesai mengikuti program kelompok bermain peserta didik diharapkan memiliki:
  1. Kemampuan dasar dalam berbahasa, berpikir, berkreasi, berkomunikasi serta belajar hidup mandiri.
  2. Terbiasa dengan disiplin, mengenal cara hidup sehat dan tumbuh rasa percaya diri.

Nilai-nilai
  1. Nilai-nilai agama/religiusitas
  2. Nilai-nilai Budi pekerti
  3. Nilai-nilai Kedisiplinan
  4. Nilai-nilai bermasyarakat
  5. Nilai-nilai Kesehatan dan gizi
  6. Nilai-nilai Kebangsaan/patriotism
  7. Kemampuan berbahasa, kreatifitas/daya cipta, psikomotorik, jasmani, kemandirian dan social.
Manfaat Model Belajar
1. Sasaran didik atau anak peserta belajar:
a. Tahu tentang status kesehatan gizi
b. Tumbuh kembang anak meningkat
c. Memperoleh bekal pengetahuan dasar untuk memasuki pendidikan Dasar

2. Bagi orangtua dan masyrakat sekitar:
a. Tumbuhnya kesadaran akan pendidikan
b. Tahu tentang teori perkembangan anak
c. Tahu hak-hak anak

Sasaran
Sasaran utama dari pengembangan kelompok bermain/PAUD yang telah dan akan dikembangkan pada kelompok bermain/PAUD Cahaya Sira adalah anak-anak pra sekolah yang berumur 3 (tiga) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun dari masyarakat yang tinggal di dusun Sira dan sekitarnya.

Pada tahun pertama tahun ajaran 2011/2012 jumlah peserta didik yang terdaftar berjumlah 30 anak dengan fasilitas 1 (satu) ruang belajar.

Pembiayaan Kegiatan Bermain/Belajar
Sejak dibentuk dari tahun 2011 seluruh pembiayaan program bermain/belajar ini pembiayaannya dilakukan secara swadaya baik oleh pengelola/pendidik maupun dari orangtua dan masyarakat dusun Sira.

Pencarian biaya kegiatan dilakukan lewat kerjasama dengan pihak lain tanpa mengikat dan umumnya respon masyarakat sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari persta didik yang tidak hanya bersal dari dusun Sira tapi juga berasal dari dusun-dusun lain di desa Sigarpenjalin.

Tahapan Pendidikan

Tahapan Persiapan
  1. Identifikasi peserta belajar
  2. Analisa situasi dan kondisi masyarakat
  3. Penyediaan sarana dan prasarana
  4. Mencari dukungan masyarakat
  5. Rekrut peserta belajar
  6. Identifikasi dan mempersiapakan tenaga pengajar/pendamping anak
  7. Penyusunan kurikulum belajar
  8. Sosiaaisasi melalui pertemuan dengan orangtua murid dan pemangku kepentingan anak di dusun
  9. Survei lokasi belajar dan membangun “sekolah” serta pengumpulan alat pendukung belajar/bermain
Tahapan Belajar
  1. Orientasi dan sosialisasi
  2. Pertemuan orangtua peserta didik untuk memberikan gambaran tentang pendidikan yang yang diberikan pada anak-anak di dusun Sira
  3. Orientasi belajar untuk memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mampu mengikuti proses belajar/bermain

Tahapan Monitoring dan Evaluasi Belajar
Monitoring dilakukan secara langsung dalam setiap proses tahapan belajar untuk melihat apakah alur dan kurikulum belajar yang disusun dilakukan sesuai dengan prosedurnya. Monitoring dilakukan langsung pada setiap kegiatan belajar dan pabila ditemukan hambatan atau halangan yang membuat proses belajar menjadi kontraproduktif maka langsung diberikan intervensi untuk memperbaiki proses belajar di awal dan di akhir setiap sessi belajar secara berkesinambungan.

Evaluasi dilakukan untuk mengatahui tingkat serapan dari peserta didik terhadap nilai-nilai yang diberikan dalam proses belajar. Evaluasi dilakukan dengan melibatkan instansi pemerintah terkait khususnya dari Dinas Pendidikan Kabupaten Lombok Utara dan lembaga-lembaga lain yang ditunjuk untuk kegiatan evaluasi.
Pelaporan kegiatan belajar adalah dianggap sebagai bagian yang penting agar menjadi tolak ukur keberhasilan atau lesson learning.


Pelaksana Proses Belajar 
Proses belajar di Cahaya Sira di lakukan oleh sebuah tim pendamping yang terdiri dari
1. Mujayin, Laki-laki, kelahiran Dusun Sira, 12Oktober 1989 - Ketua/guru merupan mahasiswa dari FKIP UNW Mataram
2. Baiq Mariana Idianti, Perempuan, kelahiran Dusun Menggala, 16 Juni 1994, Bendahara/guru, Sarjana Pendidikan lulusan IKIP Mataram
3. Huriaty, perempuan, kelahiran Dusun Menggala, 8 Mei 1994, Guru, mahasiswa PGPAUD
4. Muwaddah Warahmah, perempuan kelahiran dusun Sumbur Mual, 4 September 1994, mahasiswa PGPAUD



Peserta Belajar Peserta Didik
  1. Abila Januariska (4 tahun), perempuan, Dusun Lendang Brora
  2. Abi Syahputra (6 tahun), laki-laki, Dusun Sira Daya
  3. Aliya Jazaa Alfatir, (6 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  4. Ahmad Ali Haidar, (6 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  5. Baiq Nazira, (5 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  6. Baiq Lenia Sari, (5 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  7. Baiq Hikmahuzzila, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  8. Ikram Mulhuda, (5 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  9. Ica Apriani, (4 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  10. Julian Lestari, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  11. Juli Agustini, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  12. Baiq Rohma Dani Safitri, (4 tahun) – perempuan, Dusun Lendang Brora
  13. Khairul Anam, (6 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  14. Muhammad Gigih Setiawan, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  15. Mitani, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  16. Nayatul Ma’wa, (4 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  17. Nia Anindia, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  18. Lamoza Vetami Sila, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  19. Lalu Luffi, (5 tahun) – laki-laki, Dusun Lendang Blora
  20. Vina Herviana, (6 tahun) – perempuan, Dusun Lendang Blora
  21. Hayyan Hassan Atsigah, (6 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Timur
  22. Rizki Afandi, (6 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  23. Fahmi Umar Abdul Azis, (5 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  24. Syafa Zahratul Fitri, (5 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  25. Tahzi Burrahman, (6 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  26. Nurrahmawati, (6 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  27. Hendra Sanjaya, (4 tahun) – Laki-laki, Dusun Sira Daya
  28. Husmaidi Latif, (5 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  29. Ilal Muzakkir, (5 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya
  30. Uhiya Jayani, (5 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  31. Deanan Safitri, (4 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  32. Fitratunnisa, (4 tahun) – perempuan, Dusun Sira Daya
  33. Danil Fathan, (4 tahun) – laki-laki, Dusun Sira Daya

Dusun Sira Yang Terus Bergerak

Dusun Sira Yang Terus Bergerak

CAHAYA SIRA, LOMBOK UTARA - Dusunku ini merupakan salah satu dusun dari 11 dusun yang berada di desa Sigarpenjalin yang dapat ditempuh dari kota kecamatan kurang lebih 9 kilometer. Soal pendidikan di dusunku masihkalah jauh jika dibandingkan dengan pendidikan di wilayah lainnya.

Di dusunku belum adaanya hanya di rumah atau bermain di  sekolah untuk anak-anak pra sekolah seperti taman kanak-kanak dan atau model sekolah lainnya. Anak-anak di dusunku yang belum sekolah SD biasanya hanya bermain di rumah atau di lapangan bola yang ada di dusunku.

Aku kemudian jadi terpikir untuk membangun sekolah atau tempat bermain bagi anak-anak yang belum masuk SD itu. Kebetulan sebagai BPD akan mendapat pelatihan menjadi Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan tahun 2011 bersama kawan-kawan mahasiswa lainnya kami mendirikan PAUD dan menamakannya Cahaya Sira.

Awalnya kami mencari tempat dan membangun sekolah dengan seadanya dengan mengumpulkan bahan-bahan bangunan seadanya yang ada di dusunku. Jadilah sekolah atau tempat bermain yang dibuat dari Bambu dan beratapkan rumbia.

Pelan-pelan kami mulai menerima murid dan ternyata tidak hanya dari dusunku. Kami senang dan sambil jalan kami terus belajar untuk mengembangkan PAUD ini.